TUGAS
:
ANALISIS
DAN FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK
“Isu-Isu
Kebijakan Terkini”
OLEH
:
ISDAYANTI
C1A113112
PROGRAM
STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
HALU OLEO
KENDARI
2015
KATA
PENGANTAR
Puji
dan syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa, berkat rahmat dan karunia-Nya,
penulisan makalah ini dapat diselesaikan dengan waktu yang telah direncanakan.
Makalah ini disusun guna menyelesaikan tugas mata kuliah Sistem Informasi
Manajemen & E-Government.
Penulis
menyadari bahwa dalam tulisan ini mungkin masih terdapat kesalahan dan
kekeliruan. Oleh karena itu, saran dan kritik dari pembaca sangat saya
harapkan.
Dengan
segala kerendahan hati, penulis, penulis mengiucapkan banyak teribema kasih
kerjasamanya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Kendari, Juni 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebijakan publik merupakan salah satu tema yang senantiasa
mendapat dan menyita perhatian publik dalam berbagai kesempatan. Kebijakan
publik memang tidak serta merta muncul begitu saja, tidak pula tiba-tiba ada
muncul kepermukaan publik. Kebijakan publik ada melalui proses yang begitu
panjang bahkan rumit. Demikian kompleksnya suatu permasalahan terkadang bisa
memakan waktu yang berbulan bulan bahkan bertahun-tahun.
Hal ini menjadi sebuah keniscayaan bahwa kebijakan publik
dipengaruhi oleh sekian banyak pemangku kepentingan (stake holder).
Tarik menarik kepentingan demikian hebatnya hingga masing-masing kelompok
kepentingan dengan segala upaya berjuang agar kepentingannya dapat diakomodasi
dalam kebijakan publik tersebut. Tak ayal segala carapun ditempuh oleh
kelompok-kelompok kepentingan tersebut yang terkadang terkesan “menghalalkan
cara”.
Berbagai sarana dan media digunakan, mulai dari cara yang
formal mupun informal, dari meja rapat hingga turun ke jalan. Kelompok-kelompok
kepentingan ini hendak meneriakan “kepentingannya” menjadi opini publik.
Ya… publik diajak untuk turut serta dalam opini yang mereka buat.
Masyarakat diajak untuk berpikir bersama yang pada akhirnya dipengaruhi hingga
sepakat dengan apa yang mereka teriakan.
Tentulah ini tidak mudah, tidak seperti membalikan telapak
tangan. Kelompok ini harus terus berjuang. Karena disisi jalan mereka juga
terdapat kelompok yang demikian kerasnya ingin meneriakan kepentingan. Di sisi
jalan yang lainnya juga ada yang meneriakan kepentingan mereka yang ternyata
berbeda dengan kelompok pertama. Mereka sama-sama ingin memperoleh simpati
publik, bahwa apa yang mereka teriakan adalah teriakan mereka juga. Dan dengan
harapan dalam bawah sadar masyarakat bahwa betul-betul ditengah mereka ada
permasalahan yang tidak perneh tersentuh oleh pemerintah.
Penetrasi yang demikian terus menerus pada akhirnya
menyadarkan setiap orang bahwa ada permasalahan yang belum terurus dengan baik.
dan muncullah apa yang dinakan dengan awareness of a problem (kesadaran
akan adanya masalah tertentu). Dan… think thank dibelakang ini semua
paham bahwa kebijakan publik dimulai dari pembentukan persepsi dan opini
publik yang menkristal menjadi “isu kebijakan publik”. Hal ini senada
dengan apa yang dikatakan oleh Dunn (2000) bahwa Isu kebijakan dengan begitu
lazimnya merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang
rumusan rincian, penjelasan, maupun penilaian atas suatu masalah tertentu.
Inilah yang kemudian oleh pakar kebijakan publik dikatakan
bahwa kelompok kepentingan ini menginginkan agar tema-tema yang mereka usung
masuk ke dalam agenda kebijakan publik. Persepsi dan opini menjadi penting dan
menjadi isu sentral dalam pembuatan kebijakan publik.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana proses lahirnya kebijakan.
2.
Apa yang dimaksud dengan isu kebijakan.
3.
Bagaimana implementasi kebijakan.
4.
Bagaiman evaluasi kebijakan.
1.3 Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui proses lahirnya
kebijakan.
2.
Untuk mengetahui isu kebijakan.
3.
Untuk mengetahui implementasi.
4.
Untuk mengetahui evaluasi kebijakan.
1.4
Manfaat Penulisan
Sedangkan manfaat dari penulisan makalah
ini agar mahasiswa dan pembaca dapat menjadikan makalah ini sebagai salah satu
wadah untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang isu-isu kebijakan terkini,
sehingga makalah ini dapat bernilai lebih lagi dikalangan mahasiswa atau
pembaca.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Proses Lahirnya Kebijakan
Berdasarkan berbagai definisi para ahli
kebijakan publik, kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di
masyarakat di mana dalam penyusunannya melalui berbagai tahapan. Tahap-tahap
pembuatan kebijakan
publik menurut William Dunn
Tahap-tahap kebijakan publik menurut
William Dunn adalah sebagai berikut:
2.1.1. Penyusunan Agenda
Penyusunan agenda adalah sebuah fase dan
proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses
inilah ada ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan
agenda publik perlu diperhitungkan. Jika sebuah isu telah menjadi masalah
publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak
mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain. Dalam
penyusunan agenda juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang
akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Isu kebijakan (policy issues)
sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy
issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara
para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau
pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William
Dunn (1990), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang
rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun
tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan.
Ada beberapa Kriteria isu yang bisa
dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury 1976; Sandbach,
1980; Hogwood dan Gunn, 1986) diantaranya:
a. Telah mencapai titik kritis tertentu à jika
diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius;
b. Telah mencapai tingkat partikularitas tertentu
à berdampak dramatis;
c. Menyangkut emosi tertentu dari sudut
kepent. orang banyak (umat manusia) dan mendapat dukungan media massa;
d. Menjangkau dampak yang amat luas ;
e. Mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan
dalam masyarakat ;
f. Menyangkut suatu persoalan yang fasionable
(sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya).
Ø Karakteristik : Para pejabat yang
dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah
tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.
Ø Ilustrasi : Legislator negara dan
kosponsornya menyiapkan rancangan undang-undang mengirimkan ke Komisi Kesehatan
dan Kesejahteraan untuk dipelajari dan disetujui. Rancangan berhenti di komite
dan tidak terpilih.
Penyusunan agenda kebijakan seyogianya
dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan
stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi,
dan keterlibatan stakeholder.
2.1.2. Formulasi kebijakan
Masalah yang sudah masuk dalam agenda
kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi
didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan
masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang
ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda
kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing slternatif bersaing
untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.
2.1.3. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan
otorisasi pada proses dasar pemerintahan.[4] Jika tindakan
legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara
akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan
pemerintah yang sah.Mendukung. Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi -
cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang
membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi.Legitimasi dapat dikelola melalui
manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar
untuk mendukung pemerintah.
2.1.4. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan
Secara umum evaluasi kebijakan dapat
dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan
yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini , evaluasi dipandang sebagai
suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan
pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan.
Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan
masalh-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan
masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.
2.2
Isu – isu Kebijakan Terkini
2.2.1
Isu Mengenai Penanganan Bandara
Melihat keadaan bandara yang makin tidak karuan, masih
banyaknya calo, pedagang asongan, ojek, supir taksi dan parkir liar, pihak PT
AP II harus bertindak tegas sehingga persoalan itu tidak menjadi
pemandangan tiap hari di bandara tersibuk di Indonesia yakni bandara
Soekarno-Hatta dimana bandara ini merupakan pintu masuk dari negara lain ke
negara Indonesia, sehingga untuk memunculkan kesan positif negara lain terhadap
negara ini perlu adanya pembenahan dan pengelolaan secara berkesinambungan,
salah satu caranya dengan membuat payung hukum yakni dengan pembuatan peraturan
daerah dimana perda mengatur sanksi tegas hingga ancaman kurungan dengan sanksi
itu membuat masyarakat tidak berani melanggarnya. Tetapi dalam pembuatan
kebijakan ini, meamang harus ada kerja sama antara pihak swasta dan pemerintah
dalam penanganannya. Di kutip bahwa PT AP II belum serius, karena belum
melakukan pendekatan kepada pemda dan DPRD kota Tangerang.
Pemda dan DPRD kota tangerang merasa selalu siap membantu
mengatasi hal tersebut, termasuk membuat perda baru di area terbatas seperti
bandara. Kesemrawutan bandara memang sudah memprihatinkan akan sulit
ditertibkan jika masih ada oknum yang bermain di belakang layar. Jika memang
pemerintah kota tangerang sudah menyadari hal tersebut dan belum ada
tanggapan dari pihak swasta, tatkala lebih baiknya pemerintah sebagai
kepanjangan tangan rakyat bertindak mendekatkan diri terlebih dahulu
kepada pihak swasta untuk sama-sama mencari solusinya bukan membiarkannya dan
menunggu.
2.2.2 Isu Mengenai Kesehatan
Jiwa Dan Puskesmas
Saat ini masalah penanganan dibidang kesehatan memang sedang
terbangun dilihat dari kebijakan publik yang akan dibuat pertanggal 1 januari
oleh BPJS untuk menjamin kesehatan seluruh rakyat Indonesia, hal ini merupakan
satu langkah awal yang perlu diberikan apresiasi. Tapi ada masalah lain
mengenai kesehatan yang belum tersoroti yakni kesehatan Jiwa dalam sebuah
artikel dikemukakan mengenaik pentingnya penanganan kesehatan Jiwa dan
puskesmas . Masalah kesehatan Jiwa di Indonesia sangat besar. Diperkirakan ada
1 juta kasus gangguan jiwa berat. Untuk daerah Kota Bekasi kita dapat menemukan
gangguan kesehatan jiwa di Yayasan Galuh (rawalumbu), disana terdiri
bukan hanya karena masalah keuangan, bahkan orang-orang berpendidikan
bisa mengalami masalah tersebut sungguh memprihatinkan.
Dalam hal ini penanganan mengenai kesehatan jiwa pemerintah
sudah mencanangkan Program Indonesia Bebas pasung dengan berusaha menemukan
pasien yang dipasung di Masyarakat, program pasung ini hanya sebagai pelayanan
kuratif dan rehabilitatif, belum menyelesaikan masalah kesehatan jiwa. Fokus
pelayanan pun masih di institusi atau rumah sakit jiwa, pelayanan di rumah
sakit terkesan pasif artinya menunggu masyarakat membawa orang dengan masalah
kejiwaan (ODMK) ke rumah sakit jiwa. Pelayanan pasif ini merugikan masyarakat
karena masyarakat tidak tahu kapan memutuskan membawa pasien ke rumah
sakit jiwa, akses kerumah sakit jiwa jauh, perspektif tentang rumah sakit
jiwa bagi penderita sudah buruk dan sulit membawa mereka kesana. Makin
lama dirumah sakit jiwa akan memundurkan fungsi sosial mereka. Pelayanan
kesehatan jiwa seharusnya dilakukan di masyarakat. Namun ironisnya program
pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas belum menjadi program pelayanan
pokok di Indonesia. Beberapa pemerintah provinsi telah berinisiatif menjadikan
pelayanan kesehatan jiwa sebagai program pengembangan di beberapa
puskesma. Namun, keberlanjutan program ini perlu kebijakan pemerintah
pusat untuk menetapkannya sebagai program pokok. Sehingga dapat
mewujudkan Indonesia sehat jiwa, program kesehatan jiwa perlu diadakan di
program puskesmas. Penanganan kesehatan pada lansia di Indonesia memerlukan
penanganan yang komprehensif dan holistik. Perlunya sikap Pemerintah dalam
mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa yang dapat diakses dengan cepat oleh
seluruh warga Indonesia sehingga menciptakan masyarakat Indonesia yang sehat
Jiwa dan Jasmaninya.
2.3 Implementasi Kebijakan
Ada beberapa tahapan dalam siklus
kebijakan publik dan salah satu tahapan penting dalam siklus kebijakan publik
adalah implementasi kebijakan. Implementasi sering dianggap hanya sebagai
pelaksanaan dari apa yang telah diputuskan oleh legislatif atau para
pengambil keputusan, terkadang tahapan ini kurang berpengaruh. Akan tetapi
dalam kenyataannya, tahapan implementasi menjadi begitu penting karena suatu
kebijakan tidak akan berarti apa-apa jika tidak dapat dilaksanakan dengan baik
dan benar. Dengan kata lain implementasi merupakan tahap dimana suatu kebijakan
dilaksanakan secara maksimal dan dapat mencapai tujuan kebijakan itu sendiri.
Terdapat beberapa konsep mengenai
implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah sebagai
berikut:
Van Meter dan Van Horn dalam Budi
Winarno (2005:102) mendefinisikan implementasi kebijakan publik sebagai:
”Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh organisasi publik yang diarahkan untuk
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan
sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah
keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu
tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usah-usaha untuk mencapai
perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan
kebijakan”. Tahapan implementasi suatu kebijakan tidak akan dimulai sebelum
tujuan dan sasaran direncanakan terlebih dahulu yang dilakukan dalam tahap
formulasi kebijakan. Dengan demikian, tahap implementasi kebijakan terjadi
hanya setelah undang-undang tentang suatu kebijakan dikeluarkan dan dana yang
disediakan untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut telah tersedia. Implementasi
kebijakan merupakan tahap yang bersifat praktis dan berbeda dengan formulasi
kebijakan sebagai tahap yang bersifat teoritis.
Anderson (1978:25) mengemukakan
bahwa: ”Policy implementation is the application by government`s
administrative machinery to the problems.Kemudian Edward III (1980:1)
menjelaskan bahwa: “policy implementation,… is the stage of policy
making between establishment of a policy…And the consequences of the policy for
the people whom it affects”.
Berdasakan penjelasan di atas,
Tachjan (2006i:25) menyimpulkan bahwa implementasi kebijakan publik merupakan
proses kegiatan adminsitratif yang dilakukan setelah kebijakan ditetapkan dan
disetujui. Kegiatan ini terletak di antara perumusan kebijakan dan evaluasi
kebijakan. Implementasi kebijakan mengandung logika top-down,
maksudnya menurunkan atau menafsirkan alternatif-alternatif yang masih abstrak
atau makro menjadi alternatif yang bersifat konkrit atau mikro.
Implementasi kebijakan merupakan
tahapan yang sangat penting dalam proses kebijakan. Artinya implementasi
kebijakan menentukan keberhasilan suatu proses kebijakan dimana tujuan serta
dampak kebijakan dapat dihasilkan. Pentingnya implementasi kebijakan ditegaskan
oleh pendapat Udoji dalam Agustino (2006:154) bahwa: “The execution of
policies is as important if not more important than policy making. Policy will
remain dreams or blue prints jackets unless they are implemented”.
Agustino (2006:155) menerangkan
bahwa implementasi kebijakan dikenal dua pendekatan yaitu: “Pendekatan top
down yang serupa dengan pendekatan command and control (Lester
Stewart, 2000:108) dan pendekatan bottom up yang serupa dengan
pendekatan the market approach (Lester Stewart, 2000:108).
Pendekatan top down atau command and control dilakukan
secara tersentralisasi dimulai dari aktor di tingkat pusat dan
keputusan-keputusan diambil di tingkat pusat. Pendekatan top down bertolak
dari perspektif bahwa keputusan-keputusan politik (kebijakan) yang telah
ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administratur atau
birokrat yang berada pada level bawah (street level bureaucrat)”.
Bertolak belakang dengan pendekatan top down, pendekatan bottom
up lebih menyoroti implementasi kebijakan yang terformulasi dari
inisiasi warga masyarakat. Argumentasi yang diberikan adalah masalah dan
persoalan yang terjadi pada level daerah hanya dapat dimengerti secara baik
oleh warga setempat. Sehingga pada tahap implementasinya pun suatu kebijakan
selalu melibatkan masyarakat secara partisipastif.
Tachjan (2006i:26) menjelaskan
tentang unsur-unsur dari implementasi kebijakan yang mutlak harus ada yaitu:
2.3.1
Unsur Pelaksana
Unsur pelaksana adalah implementor
kebijakan yang diterangkan Dimock & Dimock dalam Tachjan (2006i:28) sebagai
berikut: ”Pelaksana kebijakan merupakan pihak-pihak yang menjalankan kebijakan
yang terdiri dari penentuan tujuan dan sasaran organisasional, analisis serta
perumusan kebijakan dan strategi organisasi, pengambilan keputusan, perencanaan,
penyusunan program, pengorganisasian, penggerakkan manusia, pelaksanaan
operasional, pengawasan serta penilaian”.
Pihak yang terlibat penuh dalam
implementasi kebijakan publik adalah birokrasi seperti yang dijelaskan oleh
Ripley dan Franklin dalam Tachjan (2006i:27): ”Bureaucracies are dominant in
the implementation of programs and policies and have varying degrees of
importance in other stages of the policy process. In policy and program
formulation and legitimation activities, bureaucratic units play a large role,
although they are not dominant”. Dengan begitu, unit-unit birokrasi
menempati posisi dominan dalam implementasi kebijakan yang berbeda dengan tahap
fomulasi dan penetapan kebijakan publik dimana birokrasi mempunyai peranan
besar namun tidak dominan.
2.3.2
Adanya Program Yang Dilaksanakan Serta
Suatu kebijakan publik tidak
mempunyai arti penting tanpa tindakan-tindakan riil yang dilakukan dengan
program, kegiatan atau proyek. Hal ini dikemukakan oleh Grindle dalam Tachjan
(2006i:31) bahwa ”Implementation is that set of activities directed toward
putting out a program into effect”. Menurut Terry dalam Tachjan (2006:31)
program merupakan;
“A program can be defined as a comprehensive plan that
includes future use of different resources in an integrated pattern and
establish a sequence of required actions and time schedules for each in order
to achieve stated objective. The make up of a program can include objectives,
policies, procedures, methods, standards and budgets”.
Maksudnya, program merupakan rencana yang bersifat
komprehensif yang sudah menggambarkan sumber daya yang akan digunakan dan
terpadu dalam satu kesatuan. Program tersebut menggambarkan sasaran, kebijakan,
prosedur, metode, standar dan budjet. Pikiran yang serupa dikemukakan oleh Siagiaan,
program harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Sasaran yang dikehendaki ,
b. Jangka waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan pekerjaan tertentu,
c. Besarnya biaya yang diperlukan
beserta sumbernya,
d. Jenis-jenis kegiatan yang
dilaksanakan dan
e. Tenaga kerja yang dibutuhkan baik
ditinjau dari segi jumlahnya maupun dilihat dari sudut kualifikasi serta
keahlian dan keterampilan yang diperlukan (Siagiaan, 1985:85).
Selanjutnya, Grindle (1980:11)
menjelaskan bahwa isi program harus menggambarkan; “kepentingan yang
dipengaruhi (interest affected), jenis manfaat (type
of benefit), derajat perubahan yang diinginkan (extent of change
envisioned), status pembuat keputusan (site of decision
making),pelaksana program (program implementers) serta sumberdaya
yang tersedia (resources commited)”.
Program dalam konteks implementasi
kebijakan publik terdiri dari beberapa tahap yaitu:
a.
Merancang
bangun (design) program beserta perincian tugas dan perumusan tujuan
yang jelas, penentuan ukuran prestasi yang jelas serta biaya dan waktu.
- Melaksanakan (aplication) program dengan mendayagunakan struktur-struktur dan personalia, dana serta sumber-sumber lainnya, prosedur dan metode yang tepat.
- Membangun sistem penjadwalan, monitoring dan sarana-sarana pengawasan yang tepat guna serta evaluasi (hasil) pelaksanaan kebijakan (Tachjan, 2006i:35)
2.3.4 Target
Group Atau Kelompok Sasaran.
Unsur yang terakhir adalah target
group atau kelompok sasaran, Tachjan (2006i:35) mendefinisikan bahwa:
”target group yaitu sekelompok orang atau organisasi dalam
masyarakat yang akan menerima barang atau jasa yang akan dipengaruhi
perilakunya oleh kebijakan”. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
berkaitan dengan kelompok sasaran dalam konteks implementasi kebijakan bahwa
karakteristik yang dimiliki oleh kelompok sasaran seperti: besaran kelompok,
jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman, usia serta kondisi sosial
ekonomi mempengaruhi terhadap efektivitas implementasi.
Untuk dapat mengkaji dengan baik
suatu implementasi kebijakan publik perlu diketahui variabel atau faktor-faktor
penentunya. Untuk menggambarkan secara jelas variabel atau faktor-faktor yang
berpengaruh penting terhadap implementasi kebijakan publik serta guna
penyederhanaan pemahaman, maka akan digunakan model-model implementasi
kebijakan. Edwards III (1980) berpendapat dalam model implementasi kebijakannya
bahwa keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 4 faktor sebagai
berikut:
a.
Bureaucraitic Structure (Struktur
Birokrasi)
Struktur organisasi memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Aspek struktur
organisasi ini melingkupi dua hal yaitu mekanisme dan struktur birokrasi itu
sendiri. Aspek pertama adalah mekanisme, dalam implementasi kebijakan biasanya
sudah dibuat standart operation procedur (SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap
implementator dalam bertindak agar dalam pelaksanaan kebijakan tidak melenceng
dari tujuan dan sasaran kebijakan. Aspek kedua adalah struktur birokrasi,
struktur birokrasi yang terlalu panjang dan terfragmentasi akan cenderung
melemahkan pengawasan dan menyebabkan prosedur birokrasi yang rumit dan
kompleks yang selanjutnya akan menyebabkan aktivitas organisasi menjadi tidak
fleksibel.
b.
Resouces (Sumber
Daya)
Sumber daya memiliki peranan penting
dalam implementasi kebijakan. Edward III dalam Widodo (2011:98) mengemukakan
bahwa: bagaimanapun jelas dan konsistensinya ketentuan-ketentuan dan
aturan-aturan serta bagaimanapun akuratnya penyampaian ketentuan-ketentuan atau
aturan-aturan tersebut, jika para pelaksana kebijakan yang bertanggung jawab
untuk melaksanakan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber daya untuk
melaksanakan kebijakan secara efektif maka implementasi kebijakan tersebut
tidak akan efektif. Sumber daya di sini berkaitan dengan segala sumber yang dapat
digunakan untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber daya ini
mencakup sumber daya manusia, anggaran, fasilitas, informasi dan kewenangan
yang dijelaskan sebagai berikut :
Ø Sumber
Daya Manusia (Staff). Implementasi kebijakan tidak akan berhasil tanpa adanya
dukungan dari sumber daya manusia yang cukup kualitas
dan kuantitasnya. Kualitas sumber daya manusia berkaitan dengan keterampilan,
dedikas, profesionalitas, dan kompetensi di bidangnya, sedangkan kuatitas berkaitan
dengan jumlah sumber daya manusia apakah sudah cukup untuk melingkupi seluruh
kelompok sasaran. Sumber daya manusia sangat berpengaruh terhadap keberhasilan
implementasi, sebab tanpa sumber daya manusia yang kehandalan sumber daya
manusia, implementasi kebijakan akan berjalan lambat.
Ø Anggaran
(Budgetary). Dalam
implementasi kebijakan, anggaran berkaitan dengan kecukupan modal atau
investasi atas suatu program atau kebijakan untuk menjamin terlaksananya
kebijakan, sebab tanpa dukungan anggaran yang memadahi, kebijakan tidak akan
berjalan dengan efektif dalam mencapai tujuan dan sasaran.
Ø Fasilitas
(facility).
Fasilitas atau sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Pengadaan fasilitas yang layak,
seperti gedung, tanah dan peralatan perkantoran akan menunjang dalam
keberhasilan implementasi suatu program atau kebijakan.
Ø Informasi
dan Kewenangan (Information and Authority). Informasi juga menjadi faktor
penting dalam implementasi kebijakan, terutama informasi yang relevan dan cukup
terkait bagaimana mengimplementasikan suatu kebijakan. Sementara wewenang
berperan penting terutama untuk meyakinkan dan menjamin bahwa kebijakan yang
dilaksanakan sesuai dengan yang dikehendaki.
c.
Disposisition (Sikap
Pelaksana)
Kecenderungan perilaku atau
karakteristik dari pelaksana kebijakan berperan penting untuk mewujudkan
implementasi kebijakan yang sesuai dengan tujuan atau sasaran. Karakter penting
yang harus dimiliki oleh pelaksana kebijakan misalnya kejujuran dan komitmen
yang tinggi. Kejujuran mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam asa
program yang telah digariskan, sedangkan komitmen yang tinggi dari pelaksana
kebijakn akan membuat mereka selalu antusias dalam melaksanakan tugas,
wewenang, fungsi, dan tanggung jawab sesuai dengan peraturan yang telah
ditetapkan
Sikap dari pelaksana kebijakan akan
sangat berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Apabila implementator memiliki
sikap yang baik maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti
apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan, sebaliknya apabila sikapnya tidak
mendukung maka implementasi tidak akan terlaksana dengan baik.
d.
Communication (Komunikasi)
Komunikasi merupakan proses
penyampaian informasi dari komunikator kepada komunikan. Sementara itu,
komunikasi kebijakan berarti merupakan proses penyampaian informasi kebijakan
dari pembuat kebijakan (policy makers) kepada pelaksana kebijakan (policy
implementors) (Widodo, 2011:97).
Widodo kemudian menambahkan bahwa
informasi perlu disampaikan kepada pelaku kebijakan agar pelaku kebijakan dapat
memahami apa yang menjadi isi, tujuan, arah, kelompok sasaran (target group)
kebijakan, sehingga pelaku kebijakan dapat mempersiapkan hal-hal apa saja yang
berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan, agar proses implementasi kebijakan
bisa berjalan dengan efektif serta sesuai dengan tujuan kebijakan itu
sendiri.
Komunikasi dalam implementasi
kebijakan mencakup beberapa dimensi penting yaitu tranformasi informasi (transimisi),
kejelasan informasi (clarity) dan konsistensi informasi (consistency).
Dimensi tranformasi menghendaki agar informasi tidak hanya disampaikan kepada
pelaksana kebijakan tetapi juga kepada kelompok sasaran dan pihak yang terkait.
Dimensi kejelasan menghendaki agar informasi yang jelas dan mudah dipahami,
selain itu untuk menghindari kesalahan interpretasi dari pelaksana kebijakan,
kelompok sasaran maupun pihak yang terkait dalam implementasi kebijakan.
Sedangkan dimensi konsistensi menghendaki agar informasi yang disampaikan harus
konsisten sehingga tidak menimbulkan kebingungan pelaksana kebijakan, kelompok
sasaran maupun pihak terkait.
2.2
Evaluasi
Kebijakan
Evaluasi
kebijakan dalam perspektif alur proses/siklus kebijakan publik, menempati
posisi terakhir setelah implementasi kebijakan, sehingga sudah sewajarnya jika
kebijakan publik yang telah dibuat dan dilaksanakan lalu dievaluasi. Dari
evaluasi akan diketahui keberhasilan atau kegagalan sebuah kebijakan, sehingga
secara normatif akan diperoleh rekomendasi apakah kebijakan dapat dilanjutkan;
atau perlu perbaikan sebelum dilanjutkan, atau bahkan harus dihentikan.
Evaluasi juga menilai keterkaitan antara teori (kebijakan) dengan prakteknya
(implementasi) dalam bentuk dampak kebijakan, apakah dampak tersebut sesuai
dengan yang diperkirakan atau tidak. Dari hasil evaluasi pula kita dapat
menilai apakah sebuah kebijakan/program memberikan manfaat atau tidak bagi
masyarakat yang dituju. Secara normatif fungsi evaluasi sangat dibutuhkan
sebagai bentuk pertanggung-jawaban publik, terlebih di masa masyarakat yang
makin kritis menilai kinerja pemerintah.
2.4.1 Lingkup Studi
Implementasi Dan Studi Evaluasi
Analisis
kebijakan publik telah berkembang jauh sebelum minat pada studi implementasi
muncul, bahkan analisis studi evaluasi telah lahir terlebih dahulu. Jika studi
kebijakan publik dianalogikan sebagai induknya, maka studi implementasi adalah
anak bungsu yang lahir setelah studi evaluasi (meski dalam urutan siklus
kebijakan tidak akan ada evaluasi jika implementasi tidak dilakukan), lantas
apa bedanya, apakah hanya lokusnya atau fokusnya ? Untuk menjawab hal tersebut
terlebih dulu kita lihat ruang lingkup studi/ analisis kebijakan publik yang
menjadi induk studi implementasi dan studi evaluasi.
Analisis
kebijakan publik (policy analysis) adalah kajian multi disiplin terhadap
kebijakan publik yang bertujuan untuk mengintegrasikan dan
mengkontektualsasikan model dan riset dari disiplin – disiplin tersebut yang
mengandung orientasi problem dan kebijakan (Parsons, xii). Atau yang menurut
Wildavsky (1979) : analisis kebijakan publik adalah subbidang terapan yang
isinya tak dapat ditentukan berdasarkan disiplin yang terbatas, tapi dengan
segala sesuatu yang tampaknya sesuai dengan situasi dari masa dan hakekat dari
persoalannya.
Analisis
kebijakan publik menurut Harold Laswell dalam buku Parsons tersebut adalah
analisis yang :
- Multi method
- Multi disciplinary
- Berfokus pada problem
- Berkaitan dengan pemetaan konstektualitas problem kebijakan, opsi kebijakan, dan hasil kebijakan
- Bertujuan untuk mengintegrasikan pengetahuan ke dalam suatu disipilin yang menyeluruh untuk menganalisis pilihan publik dan pengambilan keputusan, …”
Dari yang
dinyatakan oleh Lasswell di atas, tampaknya lingkup analisis kebijakan publik
lebih berfokus pada persoalan proses pembuatan kebijakannya, yakni dari tahap
pendefinisian masalah, agenda setting, formulasi kebijakan sampai legalisasi
kebijakan. Sedang Parsons menyatakan ada 2 kategori luas analisis dalam studi
kebijakan publik yakni :
a. Analisis
Proses Kebijakan yakni analisis bagaimana mendefinisikan proses kebijakan,
dimulai dari mendefinisikan problem sampai pada implementasi dan
pengevaluasiannya.
- Analisis dalam dan untuk proses kebijakan, yakni kajian yang menggunakan teknik analisis, riset, dan advokasi dalam pendefinisian problem sampai implementasinya. Atau dengan kata lain, kategori pertama menganalisis untuk tujuan deskripsi dan eksplanasi proses kebijakan, sedang yang kedua analisis untuk tujuan penilaian secara analitis terhadap proses kebijakan (dan jika memugkinkan bersifat presriptif bagi kasus yang di riset).
Dari rumusan
Parsons di atas, maka analisis implementasi dan analisis evaluasi adalah bagian
dari analisis kebijakan publik, hanya pada satu tahap proses dan kedalaman
analisis yang berbeda tentunya. Meski demikian pada umumnya yang dipahami
sebagai analisis kebijakan adalah yang lebih berfokus pada proses pembuatan
kebijakan, sebagaimana yang dikatakan oleh Lasswell. Sedang analisis
implementasi dan analisis evaluasi memiliki focus berbeda sesuai namanya, kendati
juga tetap merupakan analisis yang multi disiplin.
Menurut
rumusan Sabatier dan Mazamnian melakukan studi implementasi berarti berusaha
memahami apa yang senyatanya terjadi setelah suatu program diberlakukan, yakni
peristiwa dan kegiatan dalam usaha untuk mengadministrasikannya dan usaha –
usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat. Dari rumusan itu, maka
lingkup studi implementasi adalah seluruh kegiatan dan peristiwa yang terjadi
setelah suatu kebijakan diberlakukan.
Antara
analisis studi evaluasi dan analisis studi implementasi memang sering terjadi
overlap, karena keduanya bisa berangkat dari permasalahan yang sama: “Mengapa
kebijakan “X” tidak mencapai hasil yang diinginkan ?”, namun menjaga batas
antara keduanya adalah penting, studi implementasi hanya berkaitan dengan
pertanyaan bagaimana cara agen publik mengimplementasikan sebuah kebijakan
untuk mencapai perubahan sebagaimana yang dimaksudkan oleh kebijakan tersebut.
Lebih jelasnya dapat dilihat pada pendapat Jenkins berikut ini:
‘Studi
implementasi adalah studi perubahan : bagaimana perubahan itu terjadi,
bagaimana kemungkinan perubahan bisa dimunculkan. Juga merupakan studi tentang
mikrostruktur dari kehidupan politik: bagaimana organisasi di dalam dan di luar
system politik menjalankan fungsi mereka dan berinteraksi satu sama lain: apa
memotivasi tindakan – tindakan mereka dan apa motivasi lain yang mungkin
membuat mereka bertindak secara berbeda (Jenkins, 1978, p.200).
Sementara
tujuan dan lingkup analisis (riset) evaluasi menurut Carol H. Weiss (1972, p.4)
adalah :
“To measure the effects of a
program against the goals it set out to accomplish as a means of contributing
to subsequent decision making about the program and improving future
programming. The effect emphasizes the outcomes of the program, rather than its
efficiecy, honesty, morale, or adherence to rule or standars. The comparison of
effects with goals stresses the use of explicit criteria for judging how well
the program is doing”.
Weis secara
tegas menyatakan bahwa tujuan analisis evaluasi lebih pada pengukuran efek dan
dampak sebuah program/kebijakan pada masyarakat, dibanding pengukuran atas
efisiensi, kejujuran pelaksanaan, dan lain-lain yang terkait dengan
standar-standar pelaksanaan. Tujuan kebijakan itu sendiri adalah untuk
menghasilkan dampak/perubahan, sehingga wajar jika untuk itulah evaluasi
dilakukan. Adapun yang membedakan antara analisis studi implementasi dengan
analisis studi evaluasi dapat kita lihat yang dinyatakan oleh Parsons :” …
evaluation eximines ‘how public policy and the people who deliver it may be
appraised, audited, valued and controlled” while the study of
implementation is about “how policy is put into action and practice” (1995,
p. 461).
Meskipun
dilakukan secara sistematis, namun ada beberapa hal yang membedakan analisi
evaluasi dengan analisis akademik lainnya, yang menurut Weiss (p. 6-7)adalah :
a. Evaluasi
ditujukan untuk pembuatan keputusan, untuk menganalisis problem sebagaimana
yang didefinisikan oleh pembuat keputusan, bukan oleh periset, sebab si pembuat
keputusanlah yang berkentingan terhadap hasil evaluasi.
- Evaluasi adalah riset yang dilakukan dalam setting kebijakan, bukan dalam setting akademik, karenanya pertanyaan-pertanyaan evaluasi diarahkan oleh program. Peneliti tidak membangun asumsi dan hipotesisnya sendiri sebagaimana pada studi-studi lain.
- Evaluasi memberikan penilaian atas pencapaian tujuan, bukan mengevaluasi tujuan
Atau dari
pernyataan Browne & Wildavsky : “Evaluators are able to tell us a lot about
what happened – which objectives, whose objectives, were achieved – and a
little about why – the causal connections (Hill & Hupe, 12), yang merupakan
wilayah analisis implementasi. Karena meski tujuan dan dampak saling
berinteraksi namun dampak tidak dapat dinilai melalui seperangkat tujuan yang
dirumuskan secara tegas.
2.4.2 Tujuan Dan Fungsi Evaluasi
a. Tujuan Evaluasi
a. Mengukur
efek suatu program/kebijakan pada kehidupan masyarakat dengan membandingkan
kondisi antara sebelum dan sesudah adanya program tersebut. Mengukur efek
menunjuk pada perlunya metodologi penelitian. Sedang membandingkan efek dengan
tujuan mengharuskan penggunaan kriteria untuk mengukur keberhasilan
- Memperoleh informasi tentang kinerja implementasi kebijakan dan menilai kesesuaian dan perubahan program dengan rencana
- Memberikan umpan balik bagi manajemen dalam rangka perbaikan/ penyempurnaan implementasi
- Memberikan rekomendasi pada pembuat kebijakan untuk pembuatan keputusan lebih lanjut mengenai program di masa dating.
b. Fungsi
Evaluasi (William N. Dunn; Ripley)
Evaluasi
kebijakan berfungsi untuk memenuhi akuntabilitas public, karenanya sebuah
kajian evaluasi harus mampu memenuhi esensi akuntabilitas tersebut, yakni:
Ø Memberikan Eksplanasi
yang logis atas realitas pelaksanaan sebuah program/kebijakan. Untuk itu dalam
studi evaluasi perlu dilakukan penelitian/kajian tentang hubungan kausal atau
sebab akibat.
Ø Mengukur Kepatuhan,
yakni mampu melihat kesesuaian antara pelaksanaan dengan standar dan
prosedur yang telah ditetapkan.
Ø Melakukan Auditing
untuk melihat apakah output kebijakan sampai pada sasaran yang dituju? Apakah
ada kebocoran dan penyimpangan pada penggunaan anggaran, apakah ada
penyimpangan tujuan program, dan pada pelaksanaan program.
Ø Akunting
untuk melihat dan mengukur akibat sosial ekonomi dari kebijakan. Misalnya
seberapa jauh program yang dimaksud mampu meningkatkan pendapatan masyarakat,
adakah dampak yang ditimbulkan telah sesuai dengan yang diharapkan, adakah
dampak yang tak diharapkan.
2.4.3 Dimensi
Evaluasi
Secara
garis besar ada dua dimensi penting yang harus diperoleh informasinya dari
studi dievaluasi dalam kebijakan public. Dimensi tersebut adalah :
a. Evaluasi
kinerja pencapaian tujuan Kebijakan, yakni mengevaluasi kinerja orang-orang
yang bertanggungjawab mengimplementasikan kebijakan. Darinya kita akan
memperoleh jawaban atau informasi mengenai kinerja implementasi, efektifitas
dan efisiensi, dlsb yang terkait.
- Evaluasi kebijakan dan dampaknya, yakni mengevaluasi kebijakan itu sendiri serta kandungan programnya. Darinya kita akan memperoleh informasi mengenai manfaat (efek) kebijakan, dampak (outcome) kebijakan, kesesuaian kebijakan/program dengan tujuan yang ingin dicapainya (kesesuaian antara sarana dan tujuan), dll
Kajian
dalam studi evaluasi kebijakan meliputi dimensi-dimensi:
a. Evaluasi Proses
pembuatan kebijakan atau sebelum kebijakan dilaksanakan. Pada tahap ini menurut
Palumbo diperlukan dua kali evaluasi, yakni
b. Evaluasi Desain Kebijakan,
untuk menilai apakah alternative-alternatif yang dipilih sudah merupakan
alternative yang paling hemat dengan mengukur hubungan antara biaya dengan
manfaat (cost-benefit analysis), dll yang bersifat rasional dan
terukur.
c. Evaluasi Legitimasi kebijakan,
untuk menilai derajad penerimaan suatu kebijakan atau program oleh
masyarakat/stakeholder/kelompok sasaran yang dituju oleh kebijakan tersebut.
Metode evaluasi diperoleh melalui jajak pendapat (pooling), survery, dll.
d. Evaluasi Formatif yang
dilakukan pada saat proses implementasi kebijakan sedang berlangsung Tujuan
evaluasi formatif ini utamanya adalah untuk mengetahui seberapa jauh sebuah
program diimplementasikan dan kondisi-kondisi apa yang dapat diupayakan untuk
meningkatkan keberhasilannya. Dalam istilah manajemen, evaluasi formatif adalah
monitoring terhadap pengaplikasian kebijakan. Evaluasi
Formatif banyak melibatkan ukuran-ukuran kuantitatif sebagai pengukuran kinerja
implementasi.
e. Evaluasi Sumatif yang
dilakukan pada saat kebijakan telah diimplementasikan dan memberikan dampak .
Tujuan evaluasi Sumatif ini adalah untuk mengukur bagaimana
efektifitas kebijakan/program tersebut member dampak yang nyata pada
problem yang ditangani.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kebijakan publik merupakan salah satu tema yang senantiasa
mendapat dan menyita perhatian publik dalam berbagai kesempatan. Kebijakan
publik memang tidak serta merta muncul begitu saja, tidak pula tiba-tiba ada
muncul kepermukaan publik. Kebijakan publik ada melalui proses yang begitu
panjang bahkan rumit. Demikian kompleksnya suatu permasalahan terkadang bisa
memakan waktu yang berbulan bulan bahkan bertahun-tahun.
Hal ini menjadi sebuah keniscayaan bahwa kebijakan publik
dipengaruhi oleh sekian banyak pemangku kepentingan (stake holder).
Tarik menarik kepentingan demikian hebatnya hingga masing-masing kelompok
kepentingan dengan segala upaya berjuang agar kepentingannya dapat diakomodasi
dalam kebijakan publik tersebut. Tak ayal segala carapun ditempuh oleh
kelompok-kelompok kepentingan tersebut yang terkadang terkesan “menghalalkan
cara”.
3.2
Saran
Demikianlah yang
dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini,
tentunya masihg banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukkan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak
berharap para pembaca memberikan saran dan kritik yang membangun kepada penulis
demi sempurnanya makalah ini, dan penulisan makalah dikesempatan-kesempatan
berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para
pembaca pada umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar