Tugas
:
STUDI
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK
OLEH
:
ISDAYANTI
C1A113112
PROGRAM
STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
HALUOLEO
KENDARI
2015
PEMBAHASAN
A.
Unsur-Unsur
Dan Program Implementasi Kebijakan Publik
1.
Garis
Besar Siklus Kebijakan Publik
Tachjan
(2006i:19) menyimpulkan bahwa pada garis besarnya siklus kebijakan publik
terdiri dari tiga kegiatan pokok, yaitu:
Ø Perumusan
kebijakan
Ø Implementasi
kebijakan serta
Ø Pengawasan
dan penilaian (hasil) pelaksanaan kebijakan.
a.
Perumusan
Kebijakan Publik
Proses
pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak
proses maupun variabel-variabel yang harus dikaji. Kebijakan publik merupakan
suatu kesatuan sistem yang bergerak dari satu bagian ke bagian lain secara
sinambung, saling menentukan dan saling membentuk. Kebijakan publik tidak
terlepas dari sebuah proses kegiatan yang melibatkan aktor-aktor yang akan
bermain dalam proses pembuatan kebijakan. Menurut beberapa ahli, dalam memahami
proses perumusan kebijakan kita perlu memahami aktor-aktor yang terlibat atau
pemeran serta (partisipants) dalam proses pembuatan kebijakan tersebut.
Charles
Lindblom (Budi Winarno:2002) mengutarakan bahwa untuk memahami siapa sebenarnya
yang merumuskan kebijakan, lebih dahulu harus dipahami sifat-sifat semua
pemeran serta, bagian atau peran apa yang mereka lakukan, wewenang atau bentuk
kekuasaan yang mereka miliki, dan bagaimana mereka saling berhubungan serta
saling mengawasi. Dari berbagai jenis pemeran serta ini, Charles Lindblom
mengemukakan bahwa mereka mempunyai peran khusus yang meliputi : warganegara
biasa, pemimpin organisasi, anggota DPR, pemimpin badan legislatif, aktivis
partai, pemimpin partai, hakim, pegawai negeri sipil, ahli teknik, dan manajer
dunia usaha.
Setelah
masalah-masalah publik diidentifikasi, maka langkah selanjutnya adalah
bagaimana kebijakan publik harus dirumuskan. Dalam tahap ini, mengetahui
aktor-aktor yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan merupakan hal yang
esensial karena dengan demikian kita akan dapat memperkirakan seperti apakah
kebijakan publik tersebut akan dirumuskan. Bagaimana masalah publik tersebut
akan didefinisikan sangat tergantung pada siapa yang merumuskan kebijakan
tersebut yang pada akhirnya, akan menentukan bagaimana kebijakan tersebut
dirumuskan. Proses atau tahap-tahap penyusunan dan perumusan kebijakan publik :
1. Pengindentifikasian masalah
dan penyusunan agenda
Tahap pertama dalam proses perumusan kebijakan publik adalah
pengidentifikasian masalah dan penyusunan agenda, permasalahan, keinginan,
tuntutan, aspirasi, dan kehendak yang berkembang dalam kehidupan masyarakat.
2. Penyusunan skala prioritas
Tahap kedua dalam proses perumusan kebijakan publik adalah
penyusunan skala prioritas. Ada begitu banyak permasalahan, keinginan,
tuntutan, maupun aspirasi dari masyarakat, semuanya tidak mungkin dapat
diselesaikan dan dipenuhi sekaligus secara bersamaan. Oleh sebab itu,
pemerintah perlu melakukan penyusunan skala prioritas, skala prioritas ini bisa
ditentukan apabila pengidentifikasian masalah sudah dilakukan, sehingga dapat
diketahui permasalahan apa saja yang harus segera didahulukan untuk diatasi
dengan kebijakan publik.
3. Perumusan (formulasi) rancangan kebijakan
Tahap ketiga dari proses perumusan kebijakan publik adalah
perumusan rancangan kebijakan. Jika permasalahan sudah diidentifikasi dan
ditentukan skala prioritasnya, maka pemerintah mulai menyusun rancangan
kebijakan untuk menyelesaikan atau mengatasi permasalah tersebut. Dalam
menyusun dan merumuskan rancangan kebijakan, pemerintah tetap memperhatikan
pendapat atau masukan dari masyarakat. Formulasi (perumusan) kebijakan dapat
berbentuk undang-undang, perpu, kepres, perda, dan lain sebagainya.
Bentuk-bentuk formulasi kebijakan ini disesuaikan dengan tingkat dan kebutuhan
permasalahan.
4. Penetapan dan pengesahan kebijakan
Pada tahap ini rumusan rancangan
kebijakan sudah selesai dibahas dan disepakati oleh ke empat dalam proses
perumusan kebijakan publik adalah penetapan dan pengesahan kebijakan
lembaga yang terkait. Dengan demikian, rancangan
kebijakan publik tersebut siap untuk
ditetapkan dan disahkan dalam bentu peraturan atau undang-undang. Kebijakan yang
sudah disahkan tersebut perlu disosialisasikan terlebih dahulu kepada
masyarakat sebelum diberlakukan. Hal ini bertujuan agar masyarakat mengetahui
kebijakan baru tersebut, memahami maksud dan tujuan
kebijakan, dan siap untuk melaksanakannya.
5. Pelaksanaan kebijakan
Tahap kelima dalam proses perumusan kebijakan kebijakan
publik adalah pelaksanaan kebijakan. Dalam pelaksanaan suatu kebijakan,
masyarakat sudah dianggap siap untuk mengikuti dan merepakan kebijakan
tersebut, termasuk pemerintah sendiri. Pada tahap ini, semua kebijakan yang
telah dirumuskan tadi diuji secara nyata, sehingga adapat diketahui apakah
kebijakan baru tersebut yang diambil itu dapat mengatasi permasalahan atau
tidak.
6. Evaluasi kebijakan publik
Tahap terakhir adalah evaluasi kebijakan publik. Pada tahap
ini pelaksanaan kebijakan publik dievaluasi untuk mengetahui apakah sudah
sesuai dengan harapan masyarakat dan terbukti efektif memcahkan masalah atau
tidak. Jika hasilnya baik maka kebijakan tersebut diteruskan, sebaliknya jika
kebijakan tersebut itu menimbulkan dampak atau permasalahan baru, maka sudah
selayaknya kebijakan tersebut ditinjau ulang atau diperbaiki. Dalam evaluasi
ini diketahui pula prestasi yang dicapai dari kebijakan publik tersebut,
sehingga dapat dijadikan acuan untuk perumusan kebijakan berikutnya.
b.
Implementasi
Kebijakan Publik
1) Pengertian Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan pada prinsipnya
merupakan cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Lester dan
Stewart yang dikutip oleh Winarno,
menjelaskan bahwa implementasi kebijakan adalah: “Implementasi kebijakan
dipandang dalam pengertian luas merupakan alat administrasi hukum dimana
berbagai aktor, organisasi, prosedur dan eknik yang bekerja bersama-sama untuk
menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan” (Lester
dan Stewart dalam Winarno, 2002:101-102).
Jadi implementasi itu merupakan
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang
telah di tetapkan dalam suatu keputusan kebijakan. Akan tetapi pemerintah dalam
membuat kebijakan juga harus mengkaji terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut
dapat memberikan dampak yang buruk atau tidak bagi masyarakat. Hal tersebut
bertujuan agar suatu kebijakan tidak bertentangan dengan masyarakat apalagi
sampai merugikan masyarakat.
Implementasi kebijakan menurut Nugroho
terdapat dua pilihan untuk mengimplementasikannya, yaitu langsung
mengimplementasikannya dalam bentuk program-program dan melalui formulasi
kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan tersebut (Nugroho, 2003:158).
Oleh karena itu, implementasi kebijakan yang telah dijelaskan oleh Nugroho
merupakan dua pilihan, dimana yang pertama langsung mengimplementasi dalam
bentuk program dan pilihan kedua melalui formulasi kebijakan.
Pengertian implementasi kebijakan dan
faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu implmentasi Van Meter dan
Van Horn juga mengemukakan beberapa hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan
suatu implementasi, yaitu:
Ø
Ukuran
dan tujuan kebijakan
Ø
Sumber-sumber
kebijakan
Ø
Ciri-ciri
atau sifat Badan/Instansi pelaksana
Ø
Komunikasi
antar organisasi terkait dengan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
Ø
Sikap
para pelaksana, dan
Ø
Lingkungan
Ekonomi, Sosial dan Politik (Meter dan Horn dalam Wahab, 2004:79)
a) Tahap-tahap Implementasi Kebijakan
Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn
dalam Solichin Abdul Wahab (1991: 36) dalam buku analisis kebijakan: dari
formulasi ke implementasi kebijakan negara mengemukakan sejumlah tahap
implementasi sebagai berikut:
Ø
Tahap
I Terdiri atas kegiatan-kegiatan:
ü
Menggambarkan
rencana suatu program dengan penetapan tujuan secara jelas
ü
Menentukan
standar pelaksanaan
ü
Menentukan
biaya yang akan digunakan beserta waktu pelaksanaan.
Ø
Tahap
II: Merupakan pelaksanaan program dengan mendayagunakan struktur staf, sumber
daya, prosedur, biaya serta metode
Ø
Tahap
III: Merupakan kegiatan-kegiatan:
ü
Menentukan
jadwal
ü
Melakukan
pemantauan
ü
Mengadakan
pengawasan untuk menjamin kelancaran pelaksanaan program. Dengan demikian jika
terdapat penyimpangan atau pelanggaran dapat diambil tindakan yang sesuai
dengan segera (Hogwood dan Lewis dalam Wahab 1991:36).
Jadi implementasi kebijakan akan
selalu berkaitan dengan perencanaan penetapan waktu dan pengawasan, sedangkan
menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Solichin Abdul Wahab, yaitu mempelajari
masalah implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami apa yang
senyatanya terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan. Yakni
peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses
pengesahan kebijakan baik yang menyangkut usaha-usaha administratif maupun
usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat. Hal ini tidak saja
mempengaruhi perilaku lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atas sasaran
(target grup) tetapi memperhatikan berbagai kekuatan politik, ekonomi, sosial
yang berpengaruh pada impelementasi kebijakan negara.
b) Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan
Menurut Budi Winarno implementasi
kebijakan bila dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan: “ Alat
administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang
bekerja bersama-sama untuk 17 menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau
tujuan yang diinginkan” (Winarno 2002:102).
Adapun syarat-syarat untuk dapat
mengimplementasikan kebijakan negara secara sempurna menurut teori implementasi
Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gun yang dikutif oleh abdul wahab, yaitu :
Ø
Kondisi
eksternal yang dihadapi oleh badan atau instansi pelaksana tidak akan mengalami
gangguan atau kendala yang serius. Hambatan-hambatan tersebut mungkin sifatnya
fisik, politis dan sebagainya.
Ø
Untuk
pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai.
Ø
Perpaduan
sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia;
Ø
Kebijaksanaan
yang akan diimplementasikan didasarkan oleh suatu hubungan kausalitas yang
handal.
Ø
Hubungan
kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya.
Ø
Hubungan
saling ketergantungan kecil.
Ø
Pemahaman
yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.
Ø
Tugas-tugas
diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.
Ø
Komunikasi
dan koordinasi yang sempurna.
Ø
Pihak-pihak
yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang
sempurna. (Hogwood dan Lewis dalam Wahab 1997:71-78 ).
c)
Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan
Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1990:235), menjelaskan yang dimaksud dengan penghambat adalah hal yang menjadi
penyebab atau karenanya tujuan atau keinginan tidak dapat diwujudkan. Menurut Bambang Sunggono dalam buku Hukum
dan kebijakan publik, implementasi kebijakan mempunyai beberapa faktor
penghambat, yaitu:
Ø
Isi
kebijakan
Pertama, implementasi kebijakan gagal karena
masih samarnya isi kebijakan, maksudnya apa yang menjadi tujuan tidak cukup
terperinci, sarana-sarana dan penerapan prioritas, atau programprogram
kebijakan terlalu umum atau sama sekali tidak ada. Kedua, karena kurangnya
ketetapan intern maupun ekstern dari kebijakan yang akan dilaksanakan. Ketiga,
kebijakan yang akan diimplementasiakan dapat juga menunjukkan adanya
kekurangan-kekurangan yang sangat berarti. Keempat, penyebab lain dari
timbulnya kegagalan implementasi suatu kebijakan publik dapat terjadi karena
kekurangan-kekurangan yang menyangkut sumber daya-sumber daya pembantu,
misalnya yang menyangkut waktu, biaya/dana dan tenaga manusia.
Ø
Informasi
Implementasi kebijakan publik
mengasumsikan bahwa para pemegang peran yang terlibat langsung mempunyai
informasi yang perlu atau sangat berkaitan untuk dapat memainkan perannya
dengan baik.Informasi ini justru tidak ada, misalnya akibat adanya gangguan
komunikasi.
Ø
Dukungan
Pelaksanaan suatu kebijakan publik
akan sangat sulit apabila pada pengimlementasiannya tidak cukup dukungan untuk
pelaksanaan kebijakan tersebut.
Ø
Pembagian
potensi
Sebab musabab yang berkaitan dengan
gagalnya implementasi suatu kebijakan publik juga ditentukan aspek pembagian
potensi diantara para pelaku yang terlibat dalam implementasi. Dalam hal ini
berkaitan dengan diferensiasi tugas dan wewenang organisasi pelaksana. Struktur
organisasi pelaksanaan dapat menimbulkan masalah-masalah apabila pembagian
wewenang dan tanggung jawab kurang disesuaikan dengan pembagian tugas atau
ditandai oleh adanya pembatasan-pembatasan yang kurang jelas. (Sunggono, 1994:
149-153). 21
c.
Pengawasan
Dan Penilaian (Hasil) Pelaksanaan Kebijakan
Tachjan (2006i:26) menjelaskan tentang
unsur-unsur dari implementasi kebijakan yang mutlak harus ada yaitu:
- Unsur pelaksana
- Adanya program yang dilaksanakan serta
- Target group atau kelompok sasaran.
Unsur pelaksana adalah implementor
kebijakan yang diterangkan Dimock & Dimock dalam Tachjan (2006i:28) sebagai
berikut: ”Pelaksana
kebijakan merupakan pihak-pihak yang menjalankan kebijakan yang terdiri dari
penentuan tujuan dan sasaran organisasional, analisis serta perumusan kebijakan
dan strategi organisasi, pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan
program, pengorganisasian, penggerakkan manusia, pelaksanaan operasional,
pengawasan serta penilaian”. Pihak
yang terlibat penuh dalam implementasi kebijakan publik adalah birokrasi
seperti yang dijelaskan oleh Ripley dan Franklin dalam Tachjan (2006i:27): ”Bureaucracies are dominant in the
implementation of programs and policies and have varying degrees of importance
in other stages of the policy process. In policy and program formulation and
legitimation activities, bureaucratic units play a large role, although they
are not dominant”. Dengan begitu, unit-unit birokrasi menempati
posisi dominan dalam implementasi kebijakan yang berbeda dengan tahap fomulasi
dan penetapan kebijakan publik dimana birokrasi mempunyai peranan besar namun
tidak dominan. Suatu kebijakan publik tidak mempunyai arti penting tanpa
tindakan-tindakan riil yang dilakukan dengan program, kegiatan atau proyek. Hal
ini dikemukakan oleh Grindle dalam Tachjan (2006i:31) bahwa ”Implementation is that set of
activities directed toward putting out a program into effect”.
Menurut Terry dalam Tachjan (2006:31) program merupakan; “A program can be defined as a comprehensive plan that
includes future use of different resources in an integrated pattern and
establish a sequence of required actions and time schedules for each in order
to achieve stated objective. The make up of a program can include objectives,
policies, procedures, methods, standards and budgets”.
Maksudnya, program merupakan rencana
yang bersifat komprehensif yang sudah menggambarkan sumber daya yang akan digunakan
dan terpadu dalam satu kesatuan. Program tersebut menggambarkan sasaran,
kebijakan, prosedur, metode, standar dan budjet. Pikiran yang serupa
dikemukakan oleh Siagiaan, program harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Ø Sasaran
yang dikehendaki ,
Ø Jangka
waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu,
Ø Besarnya
biaya yang diperlukan beserta sumbernya,
Ø Jenis-jenis
kegiatan yang dilaksanakan dan
Ø Tenaga
kerja yang dibutuhkan baik ditinjau dari segi jumlahnya maupun dilihat dari
sudut kualifikasi serta keahlian dan keterampilan yang diperlukan (Siagiaan,
1985:85)
Selanjutnya, Grindle (1980:11)
menjelaskan bahwa isi program harus menggambarkan; “kepentingan yang
dipengaruhi (interest
affected), jenis manfaat
(type of benefit), derajat perubahan yang diinginkan (extent of change envisioned), status
pembuat keputusan (site of
decision making), pelaksana program (program implementers) serta sumberdaya yang tersedia (resources commited)”.
Program dalam konteks implementasi
kebijakan publik terdiri dari beberapa tahap yaitu:
Ø Merancang
bangun (design)
program beserta perincian tugas dan perumusan tujuan yang jelas, penentuan
ukuran prestasi yang jelas serta biaya dan waktu.
Ø Melaksanakan
(aplication)
program dengan mendayagunakan struktur-struktur dan personalia, dana serta
sumber-sumber lainnya, prosedur dan metode yang tepat.
Ø Membangun
sistem penjadwalan, monitoring dan sarana-sarana pengawasan yang tepat guna
serta evaluasi (hasil) pelaksanaan kebijakan (Tachjan, 2006i:35)
Masih membahas mengenai unsur-unsur
implementasi kebijakan publik. Unsur yang terakhir dalah target group atau kelompok
sasaran, Tachjan (2006i:35) mendefinisikan bahwa: ”target group yaitu sekelompok orang atau
organisasi dalam masyarakat yang akan menerima barang atau jasa yang akan
dipengaruhi perilakunya oleh kebijakan”. Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan berkaitan dengan kelompok sasaran dalam konteks implementasi
kebijakan bahwa karakteristik yang dimiliki oleh kelompok sasaran seperti: besaran
kelompok, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman, usia serta kondisi
sosial ekonomi mempengaruhi terhadap efektivitas implementasi.
Untuk dapat mengkaji dengan baik suatu
implementasi kebijakan publik perlu diketahui variabel atau faktor-faktor penentunya.
Untuk menggambarkan secara jelas variabel atau faktor-faktor yang berpengaruh
penting terhadap implementasi kebijakan publik serta guna penyederhanaan
pemahaman, maka akan digunakan model-model implementasi kebijakan.
Implementasi kebijakan merupakan
kegiatan yang kompleks dengan begitu banyak faktor yang mempengaruhi
keberhasilan suatu implementasi kebijakan.
2. Pendekatan Top-Down Dan Pendekatan Botton-Up
Dalam
medan intelektualitas administrasi publik, kebijakan publik selalu menjadi isu
yang tetap segar dibahas dan dikaji. Dari mulai kelahirannya, saat administrasi
publik mulai merangkak menjadi entitas ilmu sampai situasi kontemporer ketika
administrasi publik menjadi ruang-ruang refleksi intelektual, kebijakan publik
selalu berada dalam aras perdebatan yang menarik. Salah satu ranah dalam
kebijakan publik yang menjadi materi perdebatan adalah implementasi. Di antara
ragam perdebatan, menu topdown dan bottom up jadi kajian yang
selalu serius dianalisa. Para ilmuan kebijakan publik saling memberi kontribusi
membangun diskursus impelementasi dalam maksud sama: solve social problems.
Dalam
kacamata historis, perkembangan studi implementasi baru dimulai sekitar tahun
1970-an saat para ilmuan administrasi publik mulai mengalamai pergesaran fokus
kajian. Semula fokus mereka banyak mengkaji ihwal keputusan (politik) bergeser
ke fokus tahap pasca keputusan. Sebelum tahun 1970-an, pengkajian kebijakan
publik hanya terfokus pada studi proses pembuatan kebijakan dan evaluasi, tapi
alfa dalam pembahasan impelementasi. Karena saat itu prosesi formulasi
kebijakan dan hasil kebijakan dianggap tidak memiliki relasi dengan kebijakan,
dua entitas agenda yang dinilai secara parsial.
Menyoal
implementasi ini, akan menjadi agenda yang menarik bila kita menyimak karya
yang ditulis oleh Michael Hill dan Peter Hupe dalam teks yang berjudul Implementing
Public Policy. Dalam salah satu chapternya (Chapter III), mereka
menghabiskan sekitar 15 halaman untuk merangkai, membahas dan mengkomparasikan
detail perkembangan teori implementasi kebijakan publik. Puzzle implementasi
kebijakan publik coba mereka susun dalam taksonomi muasal gagasan praktika
kebijakan; dari konstruksi atas atau dari bawah.
a)
Pendekatan Top-Down
Pertama
yang dibedah Hill dan Hupe adalah narasi dari founding father teoritikus
implementasi kebijakan model top-down; Jeffrey Pressman and Aaron Wildavsky.
Pemikiran utama mereka tentang implementasi yaitu “policies normally contain
both goals and the means for achieving them”. Dan keberhasilan dari
pelaksanaannya akan sangat tergantung pada bagaimana relasi antara organisasi
yang berbeda di tingkatan lokal. Semakin banyak link dalam rantai impelementasi
maka memerlukan tingkat kerjasama antar lembaga yang tinggi. Dalam ranah
impelementasi, mereka mengenalkan gagasan “impelementation deficit” dan
mematematisasi pelaksaan kebijakan.
Pressman
dan Wildavsky cendrung menggunakan pendekatan model rasional dalam mensetting
tujuan kebijakan yang menitik beratkan pada sudut pandang pembuat kebijakan.
Namun dengan membacanya secara kontekstual, tumbuhnya perspektif model rasional
sebagai tonggak awal studi implementasi adalah sangat wajar mengingat kebutuhan
saat itu adalah untuk menjawab pertanyaan mengapa banyak kebijakan mengalami
kegagalan saat diimplementasikan dan bagaimana menghasilkan suatu formula
implementasi yang tingkat kegagalannya rendah. Namun pada perjalanannya
Wildavsky mulai meragukan model tersebut, terlebih dalam teks yang ditulisnya
bersama Giandomenico, “Impelementation as Evolution” yang dalam
pengalaman empirisnya melihat kontradiksi antara pembuatan regulasi yang rigid
dan impelementasi yang fleksibel yang menyebabkan skeptisme terhadap model
rasional.
Kemudian
pembahasan dilanjutkan dengan Donald Van Meter dan Carl Van Horn. Kedua
intelektual Amerika ini bersandar pada karya Pressman dan Wildavsky, namun
diberi sentuhan progressif menjadi sebuah model proses impelementasi.
Pendekatan-pendekatan sebelumnya meski dianggap sangat membantu memahami proses
implementasi, namun sangat kurang dalam kerangka teoritik. Dalam mengembangkan
kerangka teoritis, mereka didasarkan pada 1) teori organisasi, 2) studi tentang
dampak kebijakan publik dan 3) berbagai studi hubungan antar-pemerintah.
Van
Meter dan Van Horn memulai analisanya dengan pertimbangan kebutuhan untuk
mengklasifikasi kebijakan untuk memberi solusi pada kesulitan-kesulitan yang
terjadi dalam ranah implementasi. Implementasi, hemat mereka, akan sukses
ketika sedikit perubahan diperlukan dan tujuan konsensus tinggi. Berkaca pada
ragam kasus, secara pragmatis kebijakan dengan perubahan yang terjadi secara
incremental justru biasanya akan mendapat banyak dukungan, oleh karenanya jika
menginginkan kebijakan terimplementasikan dengan baik, maka sebaiknya dengan
perubahan marginal yang terjadi secara incremental. Model ini mengandaikan
bahwa implementasi kebijakan berjalan seara linear dari kebijakan publik,
implementor, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang dimasukkan
sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan publik sebagai berikut: 1) policy
standards and objectives, 2) the resources and incentives made available; 3)
the quality of inter-organizational relationships; 4) the characteristics
of the implementation agencies; 5) the economic, social and political
environment; dan 6) the ‘disposition’ or ‘response’ of the implementers,
yang mana satu sama lain proses saling berkelindan dan menjadi rangkaian
tahapan sistemis yang dilakukan secara longitudinal.
Model
yang diusung oleh Van Meter dan Van Horn memang menjelaskan pentingnya
partisipasi implementor dalam penyusunan tujuan kebijakan, namun pendekatan
mereka terkatagori pendekatan Top-down, sebab standar dan tujuan
kebijakan dikomunikasikan pada implementor melalui jaringan
interorganisasional, atau dengan perkataan lain, yang terpenting adalah para
implementor memahami dan menyetujui tujuan dan standar yang telah ditetapkan,
bukan turut menentukan tujuan dan standar tersebut.
Tokoh
pengusung top-down lain yang dijelaskan Hill dan Hupe adalah Eugene Bardach.
Bardach adalah teoritisi asal Amerika. Pada tahun 1977 ia merilis karya “The
Impelementation Game”. Dalam karyanya tersebut menjelaskan perspektif
top-down merangkul pengenalan gangguan dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Bardach menunjukkan bahwa dalam proses impelementasi selalu melibatkan 'game',
dan ia menguraikan berbagai macam “game” yang dapat dimainkan. Oleh karena itu
kelompok ‘top’ harus bisa mengkondisikan/setup rekomendasi pra-kebijakan. Salah
satunya terkait perlunya perhatian besar dalam proses 'scenario writing',
untuk mencapai hasil yang diinginkan. Artinya pembuat kebijakan harus
memperkirakan bagaimana scenario psoses implementasinya berikut syarat-syarat
yang dibutuhkan agar kebijakan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik yang
diharapkan kesulitan-kesulitan yang mungkin hadir dalam proses implementasi
akan lebih mudah diantisipasi. Kemudian fixing the game. Secara
eksplesit, karya Bardach memandang implementasi adalah proses 'politik', maka
untuk pencapaian tujuan sebagaimana yang tertuang dalam kebijakan, para
politisi harus mengikuti keseluruhan jalannya implementasi dan segera
memperbaiki penyimpangan-penyimpangan yang terjadi diantara para implementor.
Kontributor
top-down lainnya adalah untuk Sabatier dan Mazmanian. Dalam Teorinya dinyatakan
bahwa ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi kesuksesan implementasi,
yakni;
Ø Karakteristik
dari Masalah (tractability of the problems)
Ø Karakteristik
Kebijakan/ undang-undang (ability of statute to structure implementation)
Ø Variabel
Lingkungan (non statutory variables affecting implementation)
Model selanjutnya adalah
Model Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn untuk dapat mengimplementasikan
kebijakan secara sempurna, maka diperlukan beberapa persayaratan tertentu.
Untuk penjelasan syarat-syarat ini, penulis sengaja jelaskan cukup panjang
karena menilai variabel yang mereka jelaskan lebih beragam daripada variabel
yang dijelaskan tokoh-tokoh lainnya.
Syarat pertama adalah
kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan
menimbulkan gangguan/kendala yang serius. Karena biasanya kendala yang muncul
pada prosess implementasi kebijakan seringkali unpredictable dan berada
di luar kendali para administrator, baik yang bersifat fisik maupun politis.
Kedua, untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumberdaya yang cukup
memadahi. Sejatinya syarat kedua ini sebagian tumpang tindih dengan syarat
pertama di atas, dalam pengertian bahwa kerapkali ia muncul diantara
kendala-kendala yang bersifat eksternal. Kebijakan yang memilki tingkat
kelayakan fisik dan politis tertentu bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan
yang diinginkan karena menyangkut kendalan waktu yang pendek dengan harapan
yang terlalu tinggi. Syarat ketiga yaitu perpaduan sumber-sumber yang
diperlukan benar-benar memadahi. Sumber-sumber yang diperlukan, secara ideal
harus dijamin keberadaannya/persediaannya, namun memang secara praktik tak
jarang kita menemukan ketidak-serentakan persiapan antara sumber yang
diperlukan. Kekurang satu komponen sumber dalam rangkaian totalitas sumber bisa
menjadi kontraproduktif.
Syarat keempat,
kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas
yang andal. Dalam alur berpikir logis, adalah keharusan untuk menemukan sebab
dari suatu permasalahan. Namun pencarian sebab di sini tak sekedar tampilan
permukaan, harus pula merujuk pada penggalian permasalahan lebih dalam. Bukan
satu-dua kasus, implementasi tampak gagal dilaksanakan, namun ternyata bukan
karena implementasi itu sendiri tapi lantaran konten kebijakan itu sendiri yang
keliru. Syarat kelima hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya
sedikit mata rantai penghubungnya.
Syarat keenam hubungan
saling ketergantungan harus kecil. Impelementasi kebijakan dinilai sempurna
bila terdapat badan pelaksana tunggal dan tidak tergantung dengan organisasi
lain, karena bila tergantung dengan instansi lain akan merumitkan alur dan
pelaksanaan. Selanjutnya syarat ketujuh pemahaman yang mendalam dan
kesepakatan terhadap tujuan. Jelas, syarat ini mewajibkan adanya pemahaman yang
kompeherensif terkait konsensus terhadap tujuan yang akan dicapai dan ‘setia’
terhadap consensus tersebut selama proses implementasi.
Selanjutnya syarat kedelapan,
tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat. Syarat ini
adalah penterjamahan teknis dari syarat sebelumnya, tujuan harus definitif
begitu juga rincian tugas dan sistematikanya. Syarat kesembilan komunikasi
dan koordinasi yang sempurna. Secara lugas Hood (1976) menjelaskan guna
mencapai implementasi yang sempurna diperlukan suatu sistem satuan administrasi
tunggal sehingga tercipta koordinasi yang baik. Kemudian syarat kesepuluh
atau terakhir, pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan
mendapatkan kepatuhan yang sempurna. Patuh dalam arti ketundukan penuh dan
tidak ada penolakan sama sekali terhadap perintah dalam sistim administrasinya.
Secara implisit
syarat-syarat yang dikemukakan oleh Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn
mengandaikan suatu kondisi implementasi top-down. Ada kepatuhan yang sempurna,
pelaksana tunggal, dll menjadi karakter dalam gagasannya tersebut.
b)
Pendekatan Bottom-Up
Model
Bottom-up diprakarsai oleh Michael Lypsky melalui bukunya yang
diterbitkan tahun 1980. Pendekatan Bottom-up merupakan kritik atas
pandangan model Top-down yang menafikan kontribusi peran pelaksana tingkat
bawah (street level beaurocrazy) pada proses implementasi.
Dalam
gagasan Lypsky memproblemetisir proses politik tak hanya tidak berhenti saat
kebijakan sudah diputuskan, tapi juga pada saat proses berlangsungnya
kebijakan. ‘Politik’ tetap berlangsung pada street level beaurocrazy
yang menentukan tingkat keberhasilan implementasi.
Dengan
semangat revolusioner, Lypsky mengutuip diktum Marx ‘Man makes his own
history, even though he does not do so under conditions of his own choosing,’
bahwa street level beaurocrazy sejatinya harus bisa menentukan
pilihan-pilihannya sendiri walau dalam kondisi pressure tertentu. Oleh karena
itu, Lypsky menganggap perlu mempertimbangkan apa yang menjadi aspirasi, tujuan
kebutuhan dan permasalahan-permaslahan yang ditemui para pelaksana. Pernyataan
Lypsky menjadi benar karena apa yang menjadi masalah dalam proses implementasi
bisa tampak berbeda dari perspektif level yang berbeda. Level top, mungkin
karena sudat pandangnya yang makro bisa memiliki pandangan berbeda dengan para
pelaksana di tingkat bawah, oleh karena itu agar tidak terjadi gap pemahaman,
melibatkan aktor-aktor tingkat bawah dinilai perlu.
Selanjutnya
gagasan teori implemetansi yang diulas dalam chapter ini Benny Hejrn, sang
ilmuan sosial dari Swedia. Core pemikirannya tentang impelementasi
berorientasi pada bottom-up. Seperti Wildavsky dan Pressman, ia mengkaji pada
interaksi antara organisasi. Namun ia melakukan kajian tambahan
mengindentifikasi jaringan aktor yang terlibat serta mengidentifikasi tujuan,
strategi, dsb. Model implementasi ini didasarkan kepada jenis kebijakan publik
yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya
atau masih melibatkan pejabat pemerintah, namun hanya di tataran bawah. Bagi
Hjern implementasi akan efektif bila tanpa ada privilege tertentu bagi para
aktor-aktornya.
Selanjutnya
yang ikut dalam perdebatan teori implementasi dua sarjana asal Inggris, Susan
Barrett dan Colin Fudge. Mereka mengkrtik model top-down yang dianggapnya
mendepolitisasi hubungan antara kebijakan-action. Pandangan mereka menitik
beratkan bahwa proses politik terus terjadi dalam seluruh implementasi, dan
oleh karena itu sulit, menurut mereka, membuat jarak antara pembuatan kebijakan
dan implementasi dalam muatan politisnya. Konsekuensi logis dari pandangan
demikian, mereka menganjurkan model bottom-up.
Namun
Barrett dan Fudge berpendapat impelemtasi bukanlah ihwal yang dikompromiskan
dengan para policy-maker pasca impelementasi tersebut diselenggarakan,
karena bagi mereka hal demikian justu merupakan kebijakan yang gagal. Nalar
Barrett dan Fudge yaitu mendahulukan performance daripada conformance
(keseuaian), jadi dalam pandangan mereka para impelementor memiliki nilai
lebih untuk mengedepankan prestasi terlebih dahulu.
3.
Kebijakan
Makro Dan Kebijakan Mikro
Kebijakan Makro yaitu kebijakan pemerintah
yang meliputi seluruhnya segi ekonomi pada tingkat nasional. Terdapat banyak
misal kebijakan ekonomi makro yakni kebijakan moneter, kebijakan fiskal, serta
kebijakan perdagangan luar negeri. Kebijakan moneter yaitu kebijakan yang
dikerjakan untuk melindungi kestabilan harga didalam negeri serta nilai tukar
mata duit dalam negeri pada mata duit asing. Sedang kebijakan fiskal yaitu
kebijakan untuk kurangi tingkat inflasi yang condong bertambah.
Kebijakan Mikro yaitu kebiakan pemerintah yang
ditunjukan pada seluruhnya perusahaan tanpa ada lihat type aktivitas yang
dikerjakan atau bidang mana serta di lokasi mana perusahaan berkaitan
beroperasi. Kebijakan ekonomi mikro lebih didominasi oleh pembangunan
infrakstruktur. Dengan infrastruktur yang baik, jadi arus modal serta barang
juga bakal lancar.
B.
Peran
Pemerintah Di Dunia Usaha Dengan Peran Masyarakat Dalam Kebijakan Pelayanan
Publik
1.
Peran
Pemerintah Dalam Pelayanan Publik
Secara
teoritis sedikitnya ada tiga fungsi utama yang harus dijalankan oleh pemerintah
tanpa memandang tingkatannya, yaitu fungsi pelayan masyarakat (public
service function), fungsi pembangunan (development function) dan
fungsi perlindungan (protection function).
Hal
yang terpenting dari ketiga fungsi tersebut adalah pemerintah dapat mengelola
fungsinya agar dapat menghasilkan barang dan jasa (pelayanan) yang ekonomis,
efektif, efisien dan akuntabel kepada seluruh masyarakat yang membutuhkannya.
selain itu, pemerintah dituntut untuk menerapkan prinsip equity dalam
menjalankan fungsi-fungsi tadi. artinya pelayanan pemerintah tidak boleh
diberikan secara diskriminatif. pelayanan diberikan tanpa memandang status,
pangkat, golongan dari masyarakat dan semua warga masyarakat mempunyai hak yang
sama atas pelayanan-pelayanan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Meskipun
pemerintah mempunyai fungsi-fungsi sebagaimana di atas, namun tidak berarti
bahwa pemerintah harus berperan sebagai monopolist dalam pelaksanaan seluruh
fungsi-fungsi tadi. beberapa bagian dari fungsi tadi bisa menjadi bidang tugas
yang pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada pihak swasta ataupun dengan
menggunakan pola kemitraan (partnership), antara pemerintah dengan
swasta untuk mengadakannya. pola kerjasama antara pemerintah dengan swasta
dalam memberikan berbagai pelayanan kepada masyarakat tersebut sejalan dengan
gagasan reinventing government yang dikembangkan osborne dan gaebler (1992).
Namun
dalam kaitannya dengan sifat barang privat dan barang publik murni, maka
pemerintah adalah satu-satunya pihak yang berkewajiban menyediakan barang
publik murni, khususnya barang publik yang bernama rules atau aturan (kebijakan
publik). barang publik murni yang berupa aturan tersebut tidak pernah dan tidak
boleh diserahkan penyediaannya kepada swasta. karena bila hal itu dilakukan
maka di dalam aturan tersebut akan melekat kepentingan-kepentingan swasta yang
membuat aturan, sehingga aturan menjadi penuh dengan vested interest dan
menjadi tidak adil (unfair rule). karena itu peran pemerintah yang akan
tetap melekat di sepanjang keberadaannya adalah sebagai penyedia barang publik
murni yang bernama aturan.
Pemberian
pelayanan publik oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat sebenarnya
merupakan implikasi dari fungsi aparat negara sebagai pelayan masyarakat.
karena itu, kedudukan aparatur pemerintah dalam pelayanan umum (public
services) sangat strategis karena akan sangat menentukan sejauhmana
pemerintah mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi masyarakat, yang
dengan demikian akan menentukan sejauhmana negara telah menjalankan perannya
dengan baik sesuai dengan tujuan pendiriannya.
Dipandang
dari sudut ekonomi, pelayanan merupakan salah satu alat pemuas kebutuhan
manusia sebagaimana halnya dengan barang. namun pelayanan memiliki
karakteristik tersendiri yang berbeda dari barang. salah satu yang
membedakannya dengan barang, sebagaimana dikemukakan oleh gasperz (1994),
adalah outputnya yang tidak berbentuk (intangible output), tidak standar, serta
tidak dapat disimpan dalam inventori melainkan langsung dapat dikonsumsi pada
saat produksi.
Karakteristik
pelayanan sebagaimana yang dikemukakan Gasperz tadi secara jelas membedakan
pelayanan dengan barang, meskipun sebenarnya kaduanya merupakan alat pemuas
kebutuhan. sebagai suatu produk yang intangible, pelayanan memiliki dimensi
yang berbeda dengan barang yang bersifat tangible. produk akhir pelayanan tidak
memiliki karakteristik fisik sebagaimana yang dimiliki oleh barang. produk
akhir pelayanan sangat tergantung dari proses interaksi yang terjadi antara
layanan dengan konsumen.
Dalam
konteks pelayanan publik, dikemukakan bahwa pelayanan umum adalah mendahulukan
kepentingan umum, mempermudah urusan publik, mempersingkat waktu pelaksanaan
urusan publik dan memberikan kepuasan kepada publik (publik=umum). senada
dengan itu, moenir (1992) mengemukakan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan
yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor
material melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam usaha memenuhi
kepentingan orang lain sesuai dengan haknya.
Dalam
buku Delivering Quality Services karangan Zeithaml, Valarie a. (et.al), 1990,
yang membahas tentang bagaimana tanggapan dan harapan masyarakat pelanggan
terhadap pelayanan yang mereka terima, baik berupa barang maupun jasa. dalam
hal ini memang yang menjadi tujuan pelayanan publik pada umumnya adalah
bagaimana mempersiapkan pelayanan publik tersebut yang dikehendaki atau
dibutuhkan oleh publik, dan bagaimana menyatakan dengan tepat kepada publik
mengenai pilihannya dan cara mengaksesnya yang direncanakan dan disediakan oleh
pemerintah.
Ø Kemudian,
untuk tujuan tersebut diperinci sebagai berikut :
menentukan pelayanan publik yang disediakan, apa saja macamnya;
menentukan pelayanan publik yang disediakan, apa saja macamnya;
Ø Memperlakukan
pengguna pelayanan, sebagai customers;
Ø Berusaha
memuaskan pengguna pelayanan, sesuai dengan yang diinginkan mereka;
Ø Mencari
cara penyampaian pelayanan yang paling baik dan berkualitas;
Ø Menyediakan
cara-cara, bila pengguna pelayanan tidak ada pilihan lain.
Berangkat
dari persoalan mempertanyakan kepuasan masyarakat terhadap apa yang diberikan
oleh pelayan dalam hal ini yaitu administrasi publik adalah pemerintah itu
sendiri dengan apa yang mereka inginkan, maksudnya yaitu sejauhmana publik
berharap apa yang akhirnya diterima mereka.
Dengan
demikian, dilakukan penilaian tentang sama tidaknya antara harapan dengan
kenyataan, apabila tidak sama maka pemerintah diharapkan dapat mengoreksi
keadaan agar lebih teliti untuk peningkatan kualitas pelayanan publik.
Selanjutnya
dipertanyakan apakah terhadap kehendak masyarakat, seperti ketentuan biaya yang
tepat, waktu yang diperhitungkan dan mutu yang dituntut masyarakat telah dapat
terpenuhi. andaikata tidak terpenuhi, pemerintah diharapkan mengkoreksi
keadaan, sedangkan apabila terpenuhi dilanjutkan pada pertanyaan berikutnya,
tentang berbagai informasi yang diterima masyarakat berkenaan dengan situasi
dan kondisi, serta aturan yang melengkapinya.
Memang
pada dasarnya ada 3 (tiga) ketentuan pokok dalam melihat tinggi rendahnya suatu
kualitas pelayanan publik, yaitu perlu diperhatikan adanya keseimbangan antara
:
Ø Bagian
antar pribadi yang melaksanakan (inter personal component);
Ø Bagian
proses dan lingkungan yang mempengaruhi (process and environment component);
Ø Bagian
profesional dan teknik yang dipergunakan(professional and technical component).
Permasalahan utama
pelayanan publik berkaitan dengan peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri.
Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada berbagai aspek, yaitu
bagaimana tata pelaksanaanya, dukungan sumber daya manusia, dan organisasinya. Dilihat dari penyelenggaraannya,
pelayanan publik masih memiliki beberapa kelemahan yaitu:
Ø
Kurangnya respon.Kondisi ini terjadi hampir semua tingkatan
unsur pelayanan publik, mulai pada tingkatan petugas pelayanan sampai dengan
tingkatan ketua dari instansi atau organisasi. Respon terhadap berbagai
keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan
diabaikan.
Ø
Kurangnya penyampaian informasi. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat
malah berjalan lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.
Ø
Kurangnya akses. Berbagai pihak yang terkait dalam pelaksana pelayanan terletak
jauh dari masyarakat, sehingga masyarakat merasa sulit jika membutuhkan
pelayanan tersebut.
Ø
Kurang koordinasi. Berbagai pihak pelaksana pelayanan yang terkait satu dengan
lainnya dirasa kurang dalam berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang
tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan
instansi pelayanan lain yang terkait.
Ø
Rendahnya kualitas birokrasi. Pelayanan pada umumnya dilakukan dengan melalui proses yang
terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang
terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan
staf pelayanan untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan dilain pihak
kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam
rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan
diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan
waktu yang lama untuk diselesaikan.
Ø
Kurang mau mendengar aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat pelayanan kurang memiliki kemauan untuk
mendengar aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan
apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu.
Ø
Kurangnya efisisensi. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan
perijinan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan.
Ø
Dilihat dari sisi sumber daya manusianya. Kelemahan utamanya adalah berkaitan dengan profesionalisme,
kompetensi,dan etika.
Ø
Dilihat dari sisi kelembagaan. Kelemahan utama terletak pada disain organisasi yang tidak
dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat,adanya
peraturan yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak
terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan rangkap jabatan, fungsi
pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh
pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.
Pada
era sekarang ini perhatian masyarakat lebih menekankan pada kinerja pemerintah
daerah. Masyarakat akan menuntut pelayanan publik yang berkualitas akan semakin
menguat. Karena itu, profesianlisme pemerintah sangat ditentukan oleh
kemampuannya mengatasi berbagai permasalahan di atas sehingga mampu menyediakan
pelayanan publik yang memuaskan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang
dimilikinya.Pelayanan publik yang baik akan sangat bergantung pada pihak pihak
yang ada didalamnya, seperti para aktor kebijakan yang dipilih oleh legislatif
maupun eksekutif.
William Dunn menyatakan
bahwa aktor-aktor kebijakan terdiri dari para pejabat yang dipilih baik
eksekutif maupun legislatif,para pejabat yang diangkat,kelompok-kelompok
kepentingan,organisasi – organisasi penelitian dan media massa3.Dari sisi
mikro, hal-hal yang dapat diajukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut
antara lain adalah sebagai berikut:
Ø
Standar Pelayanan.
Standar pelayanan
merupakan suatu komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan
dengan suatu kualitas tertentu yang ditentukan atas dasar perpaduan
harapan-harapan masyarakat dan kemampuan penyelenggara pelayanan. Penetapan
standar pelayanan yang dilakukan melalui proses identifikasi jenis pelayanan,
identifikasi pelanggan, identifikasi harapan pelanggan, perumusan visi dan misi
pelayanan, analisis proses dan prosedur, sarana dan prasarana, waktu dan biaya
pelayanan. Proses ini tidak hanya akan memberikan informasi mengenai standar
pelayanan yang harus ditetapkan, tetapi juga informasi mengenai kelembagaan
yang mampu mendukung terselenggaranya proses manajemen yang menghasilkan
pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Informasi lain yang
juga.dihasilkan adalah informasi mengenai kuantitas dan kompetensi-kompetensi sumber
daya manusia yang dibutuhkan serta distribusinya beban tugas pelayanan yang
akan ditanganinya.
Ø
Pengembangan Prosedur Operasi Standar (SOP).
Untuk memastikan bahwa
proses pelayanan dapat berjalan secara konsisten diperlukan adanya Prosedur
Operasi Standar atau Standard
Operating Procedures. Dengan adanya SOP, maka proses pengolahan
yang dilakukan secara internal dalam unit pelayanan dapat berjalan sesuai
dengan acuan yang jelas, sehingga dapat berjalan secara konsisten. Disamping
itu SOP juga bermanfaat dalam hal:
ü
Jika terjadi hal-hal tertentu, misalkan petugas yang diberi tugas
menangani satu proses tertentu berhalangan hadir, maka petugas lain dapat menggantikannya.Oleh karena itu proses
pelayanan dapat berjalan terus.
ü
Untuk memastikan bahwa pelayanan perijinan dapat berjalan sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
ü
Memberikan informasi yang akurat ketika dilakukan penelusuran
terhadap kesalahan prosedur jika terjadi penyimpangan dalam pelayanan.
ü
Memberikan informasi yang akurat ketika akan dilakukan
perubahan-perubahan tertentu dalam prosedur pelayanan.
ü
Memberikan informasi yang akurat dalam rangka pengendalian
pelayanan.
ü
Memberikan informasi yang jelas mengenai tugas dan kewenangan yang
akan diserahkan kepada petugas tertentu yang akan menangani satu proses
pelayanan tertentu.
Ø
Pengembangan Survey Kepuasan Pelanggan.
Untuk menjaga kepuasan
masyarakat, maka perlu dikembangkan suatu mekanisme penilaian kepuasan
masyarakat atas pelayanan yang telah diberikan oleh penyelenggara pelayanan
publik. Dalam konsep manajemen pelayanan, kepuasan pelanggan dapat dicapai
apabila produk pelayanan yang diberikan oleh penyedia pelayanan memenuhi
kualitas yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, survey kepuasan pelanggan
memiliki arti penting dalam upaya peningkatan pelayanan publik.
Ø
Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan.
Pengaduan masyarakat
merupakan satu sumber informasi bagi upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan
untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu perlu didisain suatu sistem
pengelolaan pengaduan yang secara dapat efektif dan efisien mengolah berbagai
pengaduan masyarakat menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan.Dalam hal-hal tertentu, memang
terdapat pelayanan publik yang pengelolaannya dapat dilakukan secara khusus
untuk menghasilkan kualitas yang baik.Dalam
banyak hal pemerintah juga dapat melakukan privatisasi kebijakan.
Namun hal yang perlu dan
penting dilakukan oleh sebuah pemerintahan dalam hal pelayanan dan kebijakan
publik yaitu adanya Evaluasi Kebijakan Publik.Dalam
hal ini, evaluasi kebijakan memiliki posisi penting dalam keseluruhan siklus
kebijakan;
ü
Pertama, evaluasi memberikan informasi yang valid dan dapat
dipercaya mengenai kinerja kebijakan.
ü
Kedua, evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik
terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target kebijakan.
ü
Ketiga, evaluasi memberi kontribusi bagi aplikasi metode-metode
kebijakan karena berbagai informasi yang didapat tentang tidak memadainya
kinerja kebijakan dapat memberi sumbangan pada perumusan ulang masalah
kebijakan, (Dunn, 2000: 609-610).
Disamping itu, peningkatan kualitas
pelayanan publik juga perlu didukung adanya struktur birtokrasi yang jelas dan
baik. Birokrasi yang terlalu luas bisa saja menjadi ladang bagi tumbuhnya KKN
dalam penyelenggaraan pelayanan.Dan
beberapa waktu terakhir ini kita bisa melihat bahwa beberapa kasus KKN dalam
birokrasi mulai terkuak keberadaanya.
Mengutip pendapat Dwiyanto (2005) ada
beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi titik strategis untuk
memulai pengembangan good governance di Indonesia, antara lain :
ü
Dengan
pelayanan publik nilai-nilai yang mencirikan good governance dapat dilakukan
secara lebih mudah dan nyata oleh birokrasi pemerintah. Nilai-nilai yang
mencirikan praktik good governance seperti efisiensi, transparansi,
akuntabilitas dan partisipasi dapat diterjemahkan secara relatif mudah dalam
penyelenggaraan pelayanan publik daripada melembagakan nilai-nilai tersebut
dalam keseluruhan aspek kegiatan pemerintahan.
ü
Pelayanan
publik melibatkan kepentingan semua unsur governance. Pemerintah, masyarakat
sipil, dan mekanisme pasar memiliki kepentingan dan keterlibatan yang tinggi
dalam ranah ini. Pelayanan publik memiliki high stake dan menjadi pertaruhan
yang penting bagi ketiga unsur governance tersebut karena baik dan buruknya
praktik pelayanan publik sangat berpengaruh kepada ketiganya. Nasib sebuah
pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, akan sangat dipengaruhi oleh
keberhasilan mereka dalam mewujudkan pelayanan publik yang baik. Keberhasilan
sebuah rezim dan penguasa dalam membangun legitimasi kekuasaan sering
dipengaruhi oleh kemampuan mereka dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang
baik dan memuaskan warga.Demikian pula dengan membaiknya pelayanan publik juga
akan memperkecil biaya birokrasi, yang pada gilirannya dapat memperbaiki
kesejahteraan warga pengguna dan efisiensi mekanisme pasar. Dengan demikian,
reformasi pelayanan publik akan memperoleh dukungan yang luas.
ü
Pelayanan
publik mampu membangkitkan dukungan dan kepercayaan masyarakat. Pelayanan publik
selama ini menjadi ranah dimana Negara yang diwakili oleh pemerintah
berintegrasi dengan lembaga-lembaga non pemerintah. Dalam ranah ini terjadi
pergumulan yang sangat intensif antara pemerintah dengan warganya. Buruknya
praktik governance dalam penyelenggaraan pelayanan publik sangat dirasakan oleh
warga dan masyarakat luas. Ini berarti jika terjadi perubahan yang signifikan
pada ranah pelayanan publik dengan sendirinya dapat dirasakan manfaatnya secara
langsung oleh warga dan masyarakat luas. Keberhasilan dalam mewujudkan praktik
good governance dalam ranah pelayanan publik mampu membangkitkan dukungan dan
kepercayaan dari masyarakat luas bahwa membangun good governance bukan hanya
sebuah mitos tetapi dapat menjadi suatu kenyataan.
ü
Dengan
memperbaiki pelayanan publik toleransi terhadap praktik bad governance
diharapkan dapat dihentikan. Hasil Governance and Decentralization Survey 2002
(GDS 2002) menunjukkan bahwa sebagian besar warga menganggap wajar terhadap
praktik pungutan liar (pungli) dan justru merasa lega karena proses pelayanan
dapat segera selesai, menjadi indikator bahwa warga bangsa menjadi semakin
toleran terhadap praktik bad governance. Hal ini tentu tidak saja dapat
mendorong warga untuk mengembangkan mekanisme survival dengan adanya praktik
bad governance, tetapi juga menghindari upaya untuk membangun good governance.
Kalau hal seperti ini terus terjadi dan semakin meluas tentu sangat berbahaya
bagi kelangsungan kehidupan bangsa. Dengan menjadikan praktik pelayanan publik
sebagai pintu masuk dalam membangun good governance, maka diharapkan toleransi
terhadap bad governance yang semakin meluas dapat dihentikan.
ü
Dengan
memperbaiki pelayanan publik diharapkan adanya keterlibatan dari aktor-aktor di
luar Negara dalam merespon masalah-masalah publik.
Menurut sebagian pakar (Dye, 1981 ;
Anderson, 1984), terdapat sejumlah dampak kebijakan yang perlu diperhatikan di
dalam evaluasi kebijakan, yakni :
ü
Dampak
kebijakan terhadap situasi atau kelompok target. Objek yang dimaksud sebagai
sasaran kebijakan harus jelas. Misalnya masyarakat miskin (berdasarkan
keriteria tertentu), para pengusaha kecil, kelompok anak-anak sekolah yang
termarjinalkan, atau siapa saja yang menjadi sasaran. Efek yang dituju oleh
kebijakan juga harus ditentukan. Jika berbagai kombinasi sasaran tersebut
dijadikan fokus masa analisisnya menjadi lebih rumit karena prioritas harus
diberikan kepada berbagai efek yang dimaksud. Disamping itu, perlu dipahami
bahwa kebijakan kemungkinan membawa konsekuensi yang diinginkan atau tidak diinginkan.
Faktanya : Implikasi atau dampak kebijakan berbagai program penanggulangan
kemiskinan (Program Pengembangan Kecamatan, Kemitraan Bagi Pengembangan Ekonomi
Lokal, CERD, P2KP, Program Pengembangan Prasarana Perdesaan, dan sebagainya)
dengan sasaran orang miskin di berbagai wilayah Indonesia, merupakan salah satu
bukti nyata. Implikasi kebijakannya terlihat misalnya melalui upaya program
tersebut di dalam mengembangkan kegiatan ekonomi produktif, kemudahan akses
masyarakat terhadap akses pendanaan-informasi-pasar-jaringan, kemudahan akses
terhadap peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan publik, kemudahan
terhadap penyediaan hak-hak dasar masyarakat miskin, peningkatan kualitas hidup
masyarakat yang dapat dilihat dari penyediaan fasilitas sosial, prasarana da
sarana, pendidikan, faktor lingkungan, perwakilan (hak) politik, dan kebutuhan
lainnya.
ü
Dampak
kebijakan terhadap situasi atau kelompok lain selain situasi atau kelompok
target. Hal ini disebut efek eksternalitas atau spillover, karena jumlah sejumlah
outcome kebijakan publik sangat berarti dipahami dengan istilah eksternalitas.
Faktanya : dampak kebijakan penanggulangan kemiskinan melalui beberapa program
(Program Pengembangan Kecamatan, Kemitraan Bagi Pengembangan Ekonomi Lokal,
CERD, P2KP, Program Pengembangan Prasarana Perdesaan, dan sebagainya), telah
melibatkan secara langsung dan tidak langsung berbagai pihak, termasuk
pemerintah, pengusaha, aparat pemerintah daerah, tokoh-tokoh masyarakat, guru,
penyuluh kesehatan, konsultan, kontraktor dan sebagainya.
ü
Dampak
kebijakan terhadap kondisi sekarang dan kondisi masa yang akan datang. Faktanya
: Dampak kebijakan penanggulangan kemiskinan melalui beberapa program seperti
tersebut diatas, telah menguatkan fondasi ekonomi kerakyatan dan kemandirian
masyarakat miskin khususnya dan masyarakat pada umumnya. Bahkan dapat dikatakan
bahwa dampak positif kebijakan tersebut meneguhkan keinginan masyarakat dalam
merespon gagasan otonomi daerah yang baru dimulai pelaksanaanya sejak tahun
1999 (Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat
dan Daerah, yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004).
ü
Biaya
langsung kebijakan, dalam bentuk sumber dana dan dana yang digunakan dalam
program. Faktanya : Berbagai lembaga donor (nasional dan internasional) telah
merealisasikan programnya. Hal ini logis dan sejalan dengan beberapa
kesepakatan dalam program penanggulangan kemiskinan yang dibiayai oleh berbagai
pihak seperti World Bank, UNDP, ADB, JICA, pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah.
ü
Biaya
tidak langsung kebijakan , yang mencakup kehilangan peluang melakukan
kegiatan-kegiatan lainnya. Biaya tersebut sering tidak diperhitungkan dalam
melakukan evaluasi kebiajakan publik karena sebagian tidak dapat
dikuantifikasi. Faktanya : tidak bisa dipungkiri bahwa program yang dijalankan
akan melibatkan berbagai pihak yang dengan keterlibatannya menghalangi
melakukan kegiatan lain, misalnya anak dan anggota keluarga dari masyarakat
miskin yang dulunya turut membantu kegiatan orang tua, harus berada di bangku
sekolah untuk belajar pada jam tertentu. Hal ini berarti kesempatan membantu
orang tuanya bekerja menjadi hilang atau berkurang.
ü
Tentu
saja, juga sulit mengukur manfaat tidak langsung dari kebijakan terhadap
komunitas. Faktanya : Hal ini sesungguhnya dapat dilihat dari dampak simbolis
kebijakan, misalnya di bidang pendidikan terlihat dari perubahan sikap dan
perilaku masyarakat untuk sadar akan arti penting pendidikan atau di bidang
kesehatan melalui sikap dan perilaku sehat yang ditunjukkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Secara teoritis, dampak kebijakan
tidak sama dengan output kebijakan. Karena itu menurut Dye (1981), penting
untuk tidak mengukur manfaat dalam bentuk aktivitas pemerintah semata. Hal ini
perlu dicermati karena yang seringkali terlihat adalah pengukuran aktivitas
pemerintah semata-mengukur output kebijakan. Dalam menjelaskan determinan
kebijakan publik, ukuran output kebijakan publik sangat penting untuk
diperhatikan. Namun, dalam menilai dampak kebijakan publik, perlu ditemukan
identitas perubahan dalam lingkungan yang terkait dengan upaya mengukur
aktivitas pemerintah.
2. Peran Dunia Usaha Dalam Pelayanan Publik
Pelayanan
publik merupakan pilar penting reformasi birokrasi yang menjadi tolok ukur
kinerja pemerintah. Namun, lebih dari sepuluh tahun reformasi bergulir dan
implementasi otonomi daerah, fakta memperlihatkan masih minimnya perubahan
substansial dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia.
Dengan
menggunakan pendekatan yuridis empiris, dalam pelayanan publik, terdapat 3
(tiga) aktor yang terlibat, yaitu: masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah yang
dimotori oleh birokrasi. Ketiganya tidak bisa berdiri sendiri melainkan saling
berkaitan dan mendukung perwujudan sistem transparansi nasional. Untuk itu
perlu dibangun strategi kerjasama segitiga antara pemerintah, masyarakat dan
dunia usaha dalam rangka mewujudkan birokrasi yang professional, efisien,
cepat, dan bekerja berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik.
Indeks
integritas pelayanan publik pada tahun 2010 pun menujukkan penurunan dibanding
tahun-tahun sebelumnya. Beberapa instansi maupun daerah memang menunjukkan
peningkatan kualitas pelayanan pelayanan publik, namun secara umum kualitas
pelayanan publik masih sangat kurang bahkan cenderung bobrok. Argumentasi yang
dikedepankan adalah kerjasama antara pemerintah, swasta dan masyarakat dalam
mewujudkan sistem transparansi nasional pelayanan publik merupakan sebuah
keharusan.
Dunia usaha secara sederhana
diartikan sebagai kalangan pengusaha / entrepreneur baik dalam konteks
individual maupun gabungan dalam asosiasi pengusaha. Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menyebutkan bahwa pelayanan publik adalah
kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan
penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan
oleh penyelenggara pelayanan publik. Menurut Pasal 4 undang-undang ini,
penyelenggaraan pelayananpublik berasaskan: kepentingan umum, kepastian hukum,
kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban,
keprofesionalan, partisipatif, persamaan perlakuan
/ tidak diskriminatif,keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan
khusus bagi kelompok, rentan, ketepatan waktu, serta kecepatan, kemudahan, dan
keterjangkauan.
Birokrasi
merupakan aktor utama dalam penyediaan pelayanan publik. Birokrasi pada
prinsipnya merupakan gabungan fungsi dari berbagai faktor dalam kerangka
penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai mesin negara, birokrasi memiliki
legitimasi tunggal untuk menghadirkan pelayanan prima kepada publik. Adapun
faktor-faktor utama yang mempengaruhi pelayanan publik dan penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia antara lain adalah kelembagaan, kepegawaian, proses
pengawasan, dan akuntabilitas.Faktor-faktor tersebut merupakan penentu
baik-buruknya proses pelayanan yang diberikan. Namun, faktanya saat ini
memperlihatkan bahwa faktor-faktor tersebut belum mampu disinergikan, bahkan
ada kecenderungan terdapat faktor yang hilang.
3.
Peran
Masyarakat Dalam Pelayanan Publik
Ada
dasarnya
setiap manusia membutuhkan pelayanan, bahkan secara esktrim dapat dikatakan
bahwa pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Masyarakat
setiap waktu selalu menuntut pelayanan publik yang berkualitas dari pemerintah,
meskipun tuntutan tersebut sering tidak sesuai dengan harapan karena secara
empiris pelayanan publik yang terjadi selama ini masih bercirikan berbelit-belit,
lambat, dan melelahkan.
Pelayanan yang terbaik adalah
pelayanan yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang diinginkan dan
dibutuhkan oleh masyarakat. Pelayanan terbaik akan membawa implikasi terhadap
kepuasan publik atas pelayanan yang diterima. Dengan demikian dapat kita
katakan bahwa implementasi otonomi daerah memiliki peran yang sangat optimal
bagi pemerintah daerah dalam menciptakan hubungan yang harmonis antara
pemerintah dengan masyarakat. Di era otonomi daerah, fungsi pelayanan publik
menjadi salah satu fokus perhatian dalam peningkatan kinerja instansi
pemerintah daerah untuk lebih mendekatkan fasilitas pelayanan publik pada
masyarakat, sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat. Interelasi antara
aparatur dengan pelayanannya mengharuskan adanya partisipasi masyarakat
sebagai suatu proses tumbuhnya kesadaran terhadap hubungan diantara para
stakeholders yang heterogen baik kelompok sosial dan komunitas serta pengambil
kebijakan.
Osborne dan Plastrik (Sinambela, 2011)
mencirikan pemerintahan (birokrat) sebagaimana diharapkan diatas adalah
pemerintahan milik masyarakat, yakni pemerintahan (birokrat) yang mengalihkan
wewenang kontrol yang dimilikinya kepada masyarakat. Masyarakat diberdayakan
sehingga mampu mengontrol pelayanan yang diberikan oleh birokrasi. Dengan
adanya kontrol dari masyarakat pelayanan publik akan lebih baik karena mereka
akan memiliki komitmen yang lebih baik, lebih peduli, dan lebih kreatif dalam
memecahkan masalah. Oleh karena itu perlu dibangun sebuah komitmen untuk
melayani sehingga pelayanan dapat menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan
masyarakat dan dapat merancang pelayanan yang lebih kreatif serta efisien.
Pentingnya partisipasi masyarakat
dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik juga memperoleh momentum
yang tepat seiring dengan munculnya otonomi daerah di Indonesia yang memberikan
keleluasaan lebih besar kepada daerah untuk merancang dan menentukan sendiri
jenis pelayanan yang paling dibutuhkan oleh masyarakat. Posisi strategis
pemerintah daerah sebagai ujung tombak penyedia layanan publik dikemukakan oleh
Rayner (1997): ”One of the functions of local government is to be a forum where
can negotiate their interests, raise concern about matters affecting them and
try to reach a consensus or accommodate the need of other”. (”Salah satu fungsi
penting yang harus dijalankan oleh pemerintah daerah adalah menjadi forum
dimana masyarakat dapat menegosiasikan apa yang menjadi kepentingan mereka,
menyampaikan rasa keprihatinan mengenai masalah-masalah yang menganggu mereka
dan mencari konsensus atau mengakomodasi kepentingan orang lain”). Uraian di
atas terlihat pada gaya kepemimpinan Pak Jokowi dengan model ”blusukan”,
merupakan salah satu cara sederhana yang diterapkannya guna mendekatkan
pemerintah dengan masyarakat.
Kepentingan publik tidak lagi
dipandang sebagai agregasi kepentingan pribadi, melainkan sebagai hasil dialog
dan keterlibatan publik dalam mencari nilai bersama dan kepentingan bersama.
Dengan demikian, pekerjaan administrator publik (pemerintah) tidak lagi
mengarahkan tetapi pelayanan kepada masyarakat. Jika konsisten dengan apa yang
sudah dilakukan oleh Pak Jokowi dan kemudian membuahkan hasil yang memuaskan,
tentu dukungan publik semakin besar terhadap pemerintahan yang dipimpinnya.
Sebagaimana menurut Smith dan Ingram
(1993) bahwa partisipasi publik akan memberikan manfaat bagi pemerintah.
Pemerintah akan menjadi lebih kuat dalam artian ada peningkatan kapasitas
kelembagaan dalam pembuatan kebijakan publik. Peningkatan kapasitas kelembagaan
ini akan berimplikasi pada peningkatan dukungan publik kepada pemerintah,
misalnya melalui pemberian suara pada saat pemilihan umum, manakala masyarakat melihat
pemerintah sebagai sebuah lembaga yang mampu menjamin ataupun merepresentasikan
kepentingan publik.
Namun dalam praktiknya, upaya untuk
melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik bukanlah sesuatu
pekerjaan mudah untuk dilaksanakan. Ada banyak kendala yang berpotensi
menghambat implementasi program partisipasi. Pertama, lemahnya komitmen politik
para pengambil keputusan di daerah untuk secara sungguh-sungguh melibatkan
masyarakat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut pelayanan publik. Kedua,
Lemahnya dukungan anggaran, agar kegiatan ini dapat dijalankan secara terus
menerus. Ketiga, masyarakat menjadi bersikap apatisme karena selama ini jarang
dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan. Kondisi demikian akan menyulitkan
pemerintah berinisiatif untuk mengajak mereka berpartisipasi. Keempat, Tidak
adanya trust (kepercayaan) masyarakat kepada pemerintah. Masyarakat kehilangan
kepercayaan terhadap pemerintah karena sebelumnya masyarakat hanya dijadikan
objek oleh kebijakan pemerintah.
Upaya melibatkan masyarakat dalam
penyelenggaraan layanan publik tidak mudah dilaksanakan karena untuk membuat
keputusan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat membutuhkan waktu
yang lama, biaya yang tidak sedikit, serta dukungan SDM yang berpengalaman.
Oleh karena itu, jika pemerintah daerah tidak mempunyai komitmen yang kuat
untuk menggalang dukungan partisipasi, maka kegiatan partisipasi hanya akan
dirasakan sebagai masalah, bukan sebagai solusi untuk memecahkan masalah
pemerintah. Jika hal ini yang terjadi, maka partisipasi hanya menjadi momok
yang akan selalu dijauhi oleh pemerintah daerah.
Partisipasi masyarakat dalam
pelayanan publik ini dimaksudkan untuk meyakinkan dan memberikan spirit bahwa
partisipasi masyarakat memiliki posisi strategis dalam meningkatkan kualitas
pelayanan publik. Dengan adanya partisipasi, masyarakat menjadi bagian
terpenting dalam menyampaikan keluhan, kritik dan saran sehingga dapat
digunakan sebagai sarana perbaikan kualitas pelayanan sedangkan birokrasi pelayanan
didorong untuk menjadikan dirinya lebih terbuka dan terbiasa melalui proses
pembelajaran terhadap kebutuhan pengguna dan lingkungannya.
Mantap... salam kenal ya..
BalasHapustulisan bagus, mungkin lebih bagus lagi kalau ada daftar pusataka
BalasHapusBisakah saya mendapatkan daftar pustaka dari tulisan ini? Terima kasih
BalasHapus