Senin, 12 Desember 2016

STUDI IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK



Tugas :
STUDI IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK

                                                                     Logo Universitas Halu Oleo UHO.png                                                  

                                      


OLEH :
ISDAYANTI
C1A113112




PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2015


PEMBAHASAN

A.   Unsur-Unsur Dan Program Implementasi Kebijakan Publik
1.    Garis Besar Siklus Kebijakan Publik
Tachjan (2006i:19) menyimpulkan bahwa pada garis besarnya siklus kebijakan publik terdiri dari tiga kegiatan pokok, yaitu:
Ø  Perumusan kebijakan
Ø  Implementasi kebijakan serta
Ø  Pengawasan dan penilaian (hasil) pelaksanaan kebijakan.

a.    Perumusan Kebijakan Publik
Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel-variabel yang harus dikaji. Kebijakan publik merupakan suatu kesatuan sistem yang bergerak dari satu bagian ke bagian lain secara sinambung, saling menentukan dan saling membentuk. Kebijakan publik tidak terlepas dari sebuah proses kegiatan yang melibatkan aktor-aktor yang akan bermain dalam proses pembuatan kebijakan. Menurut beberapa ahli, dalam memahami proses perumusan kebijakan kita perlu memahami aktor-aktor yang terlibat atau pemeran serta (partisipants) dalam proses pembuatan kebijakan tersebut.
Charles Lindblom (Budi Winarno:2002) mengutarakan bahwa untuk memahami siapa sebenarnya yang merumuskan kebijakan, lebih dahulu harus dipahami sifat-sifat semua pemeran serta, bagian atau peran apa yang mereka lakukan, wewenang atau bentuk kekuasaan yang mereka miliki, dan bagaimana mereka saling berhubungan serta saling mengawasi. Dari berbagai jenis pemeran serta ini, Charles Lindblom mengemukakan bahwa mereka mempunyai peran khusus yang meliputi : warganegara biasa, pemimpin organisasi, anggota DPR, pemimpin badan legislatif, aktivis partai, pemimpin partai, hakim, pegawai negeri sipil, ahli teknik, dan manajer dunia usaha.
Setelah masalah-masalah publik diidentifikasi, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana kebijakan publik harus dirumuskan. Dalam tahap ini, mengetahui aktor-aktor yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan merupakan hal yang esensial karena dengan demikian kita akan dapat memperkirakan seperti apakah kebijakan publik tersebut akan dirumuskan. Bagaimana masalah publik tersebut akan didefinisikan sangat tergantung pada siapa yang merumuskan kebijakan tersebut yang pada akhirnya, akan menentukan bagaimana kebijakan tersebut dirumuskan. Proses atau tahap-tahap penyusunan dan perumusan kebijakan publik :
1. Pengindentifikasian masalah dan penyusunan agenda
Tahap pertama dalam proses perumusan kebijakan publik adalah pengidentifikasian masalah dan penyusunan agenda, permasalahan, keinginan, tuntutan, aspirasi, dan kehendak yang berkembang dalam kehidupan masyarakat.

2. Penyusunan skala prioritas
Tahap kedua dalam proses perumusan kebijakan publik adalah penyusunan skala prioritas. Ada begitu banyak permasalahan, keinginan, tuntutan, maupun aspirasi dari masyarakat, semuanya tidak mungkin dapat diselesaikan dan dipenuhi sekaligus secara bersamaan. Oleh sebab itu, pemerintah perlu melakukan penyusunan skala prioritas, skala prioritas ini bisa ditentukan apabila pengidentifikasian masalah sudah dilakukan, sehingga dapat diketahui permasalahan apa saja yang harus segera didahulukan untuk diatasi dengan kebijakan publik.

3. Perumusan (formulasi) rancangan kebijakan
Tahap ketiga dari proses perumusan kebijakan publik adalah perumusan rancangan kebijakan. Jika permasalahan sudah diidentifikasi dan ditentukan skala prioritasnya, maka pemerintah mulai menyusun rancangan kebijakan untuk menyelesaikan atau mengatasi permasalah tersebut. Dalam menyusun dan merumuskan rancangan kebijakan, pemerintah tetap memperhatikan pendapat atau masukan dari masyarakat. Formulasi (perumusan) kebijakan dapat berbentuk undang-undang, perpu, kepres, perda, dan lain sebagainya. Bentuk-bentuk formulasi kebijakan ini disesuaikan dengan tingkat dan kebutuhan permasalahan.

4. Penetapan dan pengesahan kebijakan
Pada tahap ini rumusan rancangan kebijakan sudah selesai dibahas dan disepakati oleh ke empat dalam proses perumusan kebijakan publik adalah penetapan dan pengesahan kebijakan lembaga yang terkait. Dengan demikian, rancangan kebijakan publik tersebut siap untuk ditetapkan dan disahkan dalam bentu peraturan atau undang-undang. Kebijakan yang sudah disahkan tersebut perlu disosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat sebelum diberlakukan. Hal ini bertujuan agar masyarakat mengetahui kebijakan baru tersebut, memahami maksud dan tujuan kebijakan, dan siap untuk melaksanakannya.
5. Pelaksanaan kebijakan
Tahap kelima dalam proses perumusan kebijakan kebijakan publik adalah pelaksanaan kebijakan. Dalam pelaksanaan suatu kebijakan, masyarakat sudah dianggap siap untuk mengikuti dan merepakan kebijakan tersebut, termasuk pemerintah sendiri. Pada tahap ini, semua kebijakan yang telah dirumuskan tadi diuji secara nyata, sehingga adapat diketahui apakah kebijakan baru tersebut yang diambil itu dapat mengatasi permasalahan atau tidak.

6. Evaluasi kebijakan publik
Tahap terakhir adalah evaluasi kebijakan publik. Pada tahap ini pelaksanaan kebijakan publik dievaluasi untuk mengetahui apakah sudah sesuai dengan harapan masyarakat dan terbukti efektif memcahkan masalah atau tidak. Jika hasilnya baik maka kebijakan tersebut diteruskan, sebaliknya jika kebijakan tersebut itu menimbulkan dampak atau permasalahan baru, maka sudah selayaknya kebijakan tersebut ditinjau ulang atau diperbaiki. Dalam evaluasi ini diketahui pula prestasi yang dicapai dari kebijakan publik tersebut, sehingga dapat dijadikan acuan untuk perumusan kebijakan berikutnya.
b.    Implementasi Kebijakan Publik
1)    Pengertian Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan pada prinsipnya merupakan cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Lester dan Stewart yang dikutip oleh  Winarno, menjelaskan bahwa implementasi kebijakan adalah: “Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan eknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan” (Lester dan Stewart dalam Winarno, 2002:101-102).
Jadi implementasi itu merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan dalam suatu keputusan kebijakan. Akan tetapi pemerintah dalam membuat kebijakan juga harus mengkaji terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut dapat memberikan dampak yang buruk atau tidak bagi masyarakat. Hal tersebut bertujuan agar suatu kebijakan tidak bertentangan dengan masyarakat apalagi sampai merugikan masyarakat.
Implementasi kebijakan menurut Nugroho terdapat dua pilihan untuk mengimplementasikannya, yaitu langsung mengimplementasikannya dalam bentuk program-program dan melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan tersebut (Nugroho, 2003:158). Oleh karena itu, implementasi kebijakan yang telah dijelaskan oleh Nugroho merupakan dua pilihan, dimana yang pertama langsung mengimplementasi dalam bentuk program dan pilihan kedua melalui formulasi kebijakan.
Pengertian implementasi kebijakan dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu implmentasi Van Meter dan Van Horn juga mengemukakan beberapa hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi, yaitu:
Ø  Ukuran dan tujuan kebijakan
Ø  Sumber-sumber kebijakan
Ø  Ciri-ciri atau sifat Badan/Instansi pelaksana
Ø  Komunikasi antar organisasi terkait dengan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
Ø  Sikap para pelaksana, dan
Ø  Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik (Meter dan Horn dalam Wahab, 2004:79)

a)    Tahap-tahap Implementasi Kebijakan
Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn dalam Solichin Abdul Wahab (1991: 36) dalam buku analisis kebijakan: dari formulasi ke implementasi kebijakan negara mengemukakan sejumlah tahap implementasi sebagai berikut:
Ø  Tahap I Terdiri atas kegiatan-kegiatan:
ü  Menggambarkan rencana suatu program dengan penetapan tujuan secara jelas
ü  Menentukan standar pelaksanaan
ü  Menentukan biaya yang akan digunakan beserta waktu pelaksanaan.
Ø  Tahap II: Merupakan pelaksanaan program dengan mendayagunakan struktur staf, sumber daya, prosedur, biaya serta metode
Ø  Tahap III: Merupakan kegiatan-kegiatan:
ü  Menentukan jadwal
ü  Melakukan pemantauan
ü  Mengadakan pengawasan untuk menjamin kelancaran pelaksanaan program. Dengan demikian jika terdapat penyimpangan atau pelanggaran dapat diambil tindakan yang sesuai dengan segera (Hogwood dan Lewis dalam Wahab 1991:36).

Jadi implementasi kebijakan akan selalu berkaitan dengan perencanaan penetapan waktu dan pengawasan, sedangkan menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Solichin Abdul Wahab, yaitu mempelajari masalah implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan. Yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan baik yang menyangkut usaha-usaha administratif maupun usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat. Hal ini tidak saja mempengaruhi perilaku lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atas sasaran (target grup) tetapi memperhatikan berbagai kekuatan politik, ekonomi, sosial yang berpengaruh pada impelementasi kebijakan negara.
b)   Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan
Menurut Budi Winarno implementasi kebijakan bila dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan: “ Alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk 17 menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan” (Winarno 2002:102).
Adapun syarat-syarat untuk dapat mengimplementasikan kebijakan negara secara sempurna menurut teori implementasi Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gun yang dikutif oleh abdul wahab, yaitu :
Ø  Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan atau instansi pelaksana tidak akan mengalami gangguan atau kendala yang serius. Hambatan-hambatan tersebut mungkin sifatnya fisik, politis dan sebagainya.
Ø  Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai.
Ø  Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia;
Ø  Kebijaksanaan yang akan diimplementasikan didasarkan oleh suatu hubungan kausalitas yang handal.
Ø  Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya.
Ø  Hubungan saling ketergantungan kecil.
Ø  Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.
Ø  Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.
Ø  Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.
Ø  Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna. (Hogwood dan Lewis dalam Wahab 1997:71-78 ).

c) Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:235), menjelaskan yang dimaksud dengan penghambat adalah hal yang menjadi penyebab atau karenanya tujuan atau keinginan tidak dapat diwujudkan.  Menurut Bambang Sunggono dalam buku Hukum dan kebijakan publik, implementasi kebijakan mempunyai beberapa faktor penghambat, yaitu:

Ø  Isi kebijakan
Pertama, implementasi kebijakan gagal karena masih samarnya isi kebijakan, maksudnya apa yang menjadi tujuan tidak cukup terperinci, sarana-sarana dan penerapan prioritas, atau programprogram kebijakan terlalu umum atau sama sekali tidak ada. Kedua, karena kurangnya ketetapan intern maupun ekstern dari kebijakan yang akan dilaksanakan. Ketiga, kebijakan yang akan diimplementasiakan dapat juga menunjukkan adanya kekurangan-kekurangan yang sangat berarti. Keempat, penyebab lain dari timbulnya kegagalan implementasi suatu kebijakan publik dapat terjadi karena kekurangan-kekurangan yang menyangkut sumber daya-sumber daya pembantu, misalnya yang menyangkut waktu, biaya/dana dan tenaga manusia.
Ø  Informasi
Implementasi kebijakan publik mengasumsikan bahwa para pemegang peran yang terlibat langsung mempunyai informasi yang perlu atau sangat berkaitan untuk dapat memainkan perannya dengan baik.Informasi ini justru tidak ada, misalnya akibat adanya gangguan komunikasi.
Ø  Dukungan
Pelaksanaan suatu kebijakan publik akan sangat sulit apabila pada pengimlementasiannya tidak cukup dukungan untuk pelaksanaan kebijakan tersebut.
Ø  Pembagian potensi
Sebab musabab yang berkaitan dengan gagalnya implementasi suatu kebijakan publik juga ditentukan aspek pembagian potensi diantara para pelaku yang terlibat dalam implementasi. Dalam hal ini berkaitan dengan diferensiasi tugas dan wewenang organisasi pelaksana. Struktur organisasi pelaksanaan dapat menimbulkan masalah-masalah apabila pembagian wewenang dan tanggung jawab kurang disesuaikan dengan pembagian tugas atau ditandai oleh adanya pembatasan-pembatasan yang kurang jelas. (Sunggono, 1994: 149-153). 21

c.    Pengawasan Dan Penilaian (Hasil) Pelaksanaan Kebijakan
Tachjan (2006i:26) menjelaskan tentang unsur-unsur dari implementasi kebijakan yang mutlak harus ada yaitu:
  1. Unsur pelaksana
  2. Adanya program yang dilaksanakan serta
  3. Target group atau kelompok sasaran.
Unsur pelaksana adalah implementor kebijakan yang diterangkan Dimock & Dimock dalam Tachjan (2006i:28) sebagai berikut: ”Pelaksana kebijakan merupakan pihak-pihak yang menjalankan kebijakan yang terdiri dari penentuan tujuan dan sasaran organisasional, analisis serta perumusan kebijakan dan strategi organisasi, pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan program, pengorganisasian, penggerakkan manusia, pelaksanaan operasional, pengawasan serta penilaian”. Pihak yang terlibat penuh dalam implementasi kebijakan publik adalah birokrasi seperti yang dijelaskan oleh Ripley dan Franklin dalam Tachjan (2006i:27): ”Bureaucracies are dominant in the implementation of programs and policies and have varying degrees of importance in other stages of the policy process. In policy and program formulation and legitimation activities, bureaucratic units play a large role, although they are not dominant”. Dengan begitu, unit-unit birokrasi menempati posisi dominan dalam implementasi kebijakan yang berbeda dengan tahap fomulasi dan penetapan kebijakan publik dimana birokrasi mempunyai peranan besar namun tidak dominan. Suatu kebijakan publik tidak mempunyai arti penting tanpa tindakan-tindakan riil yang dilakukan dengan program, kegiatan atau proyek. Hal ini dikemukakan oleh Grindle dalam Tachjan (2006i:31) bahwa ”Implementation is that set of activities directed toward putting out a program into effect”. Menurut Terry dalam Tachjan (2006:31) program merupakan; A program can be defined as a comprehensive plan that includes future use of different resources in an integrated pattern and establish a sequence of required actions and time schedules for each in order to achieve stated objective. The make up of a program can include objectives, policies, procedures, methods, standards and budgets”.
Maksudnya, program merupakan rencana yang bersifat komprehensif yang sudah menggambarkan sumber daya yang akan digunakan dan terpadu dalam satu kesatuan. Program tersebut menggambarkan sasaran, kebijakan, prosedur, metode, standar dan budjet. Pikiran yang serupa dikemukakan oleh Siagiaan, program harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Ø  Sasaran yang dikehendaki ,
Ø  Jangka waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu,
Ø  Besarnya biaya yang diperlukan beserta sumbernya,
Ø  Jenis-jenis kegiatan yang dilaksanakan dan
Ø  Tenaga kerja yang dibutuhkan baik ditinjau dari segi jumlahnya maupun dilihat dari sudut kualifikasi serta keahlian dan keterampilan yang diperlukan (Siagiaan, 1985:85)
Selanjutnya, Grindle (1980:11) menjelaskan bahwa isi program harus menggambarkan; “kepentingan yang dipengaruhi (interest affected),  jenis manfaat (type of benefit), derajat perubahan yang diinginkan (extent of change envisioned), status pembuat keputusan (site of decision making), pelaksana program (program implementers) serta sumberdaya yang tersedia (resources commited)”.
Program dalam konteks implementasi kebijakan publik terdiri dari beberapa tahap yaitu:
Ø  Merancang bangun (design) program beserta perincian tugas dan perumusan tujuan yang jelas, penentuan ukuran prestasi yang jelas serta biaya dan waktu.
Ø  Melaksanakan (aplication) program dengan mendayagunakan struktur-struktur dan personalia, dana serta sumber-sumber lainnya, prosedur dan metode yang tepat.
Ø  Membangun sistem penjadwalan, monitoring dan sarana-sarana pengawasan yang tepat guna serta evaluasi (hasil) pelaksanaan kebijakan (Tachjan, 2006i:35)
Masih membahas mengenai unsur-unsur implementasi kebijakan publik. Unsur yang terakhir dalah target group atau kelompok sasaran, Tachjan (2006i:35) mendefinisikan bahwa: ”target group yaitu sekelompok orang atau organisasi dalam masyarakat yang akan menerima barang atau jasa yang akan dipengaruhi perilakunya oleh kebijakan”. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan kelompok sasaran dalam konteks implementasi kebijakan bahwa karakteristik yang dimiliki oleh kelompok sasaran seperti: besaran kelompok, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman, usia serta kondisi sosial ekonomi mempengaruhi terhadap efektivitas implementasi.
Untuk dapat mengkaji dengan baik suatu implementasi kebijakan publik perlu diketahui variabel atau faktor-faktor penentunya. Untuk menggambarkan secara jelas variabel atau faktor-faktor yang berpengaruh penting terhadap implementasi kebijakan publik serta guna penyederhanaan pemahaman, maka akan digunakan model-model implementasi kebijakan.
Implementasi kebijakan merupakan kegiatan yang kompleks dengan begitu banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan.

2.    Pendekatan Top-Down Dan Pendekatan Botton-Up
Dalam medan intelektualitas administrasi publik, kebijakan publik selalu menjadi isu yang tetap segar dibahas dan dikaji. Dari mulai kelahirannya, saat administrasi publik mulai merangkak menjadi entitas ilmu sampai situasi kontemporer ketika administrasi publik menjadi ruang-ruang refleksi intelektual, kebijakan publik selalu berada dalam aras perdebatan yang menarik. Salah satu ranah dalam kebijakan publik yang menjadi materi perdebatan adalah implementasi. Di antara ragam perdebatan, menu topdown dan bottom up jadi kajian yang selalu serius dianalisa. Para ilmuan kebijakan publik saling memberi kontribusi membangun diskursus impelementasi dalam maksud sama: solve social problems.
Dalam kacamata historis, perkembangan studi implementasi baru dimulai sekitar tahun 1970-an saat para ilmuan administrasi publik mulai mengalamai pergesaran fokus kajian. Semula fokus mereka banyak mengkaji ihwal keputusan (politik) bergeser ke fokus tahap pasca keputusan. Sebelum tahun 1970-an, pengkajian kebijakan publik hanya terfokus pada studi proses pembuatan kebijakan dan evaluasi, tapi alfa dalam pembahasan impelementasi. Karena saat itu prosesi formulasi kebijakan dan hasil kebijakan dianggap tidak memiliki relasi dengan kebijakan, dua entitas agenda yang dinilai secara parsial.
Menyoal implementasi ini, akan menjadi agenda yang menarik bila kita menyimak karya yang ditulis oleh Michael Hill dan Peter Hupe dalam teks yang berjudul Implementing Public Policy. Dalam salah satu chapternya (Chapter III), mereka menghabiskan sekitar 15 halaman untuk merangkai, membahas dan mengkomparasikan detail perkembangan teori implementasi kebijakan publik. Puzzle implementasi kebijakan publik coba mereka susun dalam taksonomi muasal gagasan praktika kebijakan; dari konstruksi atas atau dari bawah.
a)    Pendekatan Top-Down
Pertama yang dibedah Hill dan Hupe adalah narasi dari founding father teoritikus implementasi kebijakan model top-down; Jeffrey Pressman and Aaron Wildavsky. Pemikiran utama mereka tentang implementasi yaitu “policies normally contain both goals and the means for achieving them”. Dan keberhasilan dari pelaksanaannya akan sangat tergantung pada bagaimana relasi antara organisasi yang berbeda di tingkatan lokal. Semakin banyak link dalam rantai impelementasi maka memerlukan tingkat kerjasama antar lembaga yang tinggi. Dalam ranah impelementasi, mereka mengenalkan gagasan “impelementation deficit” dan mematematisasi pelaksaan kebijakan.
Pressman dan Wildavsky cendrung menggunakan pendekatan model rasional dalam mensetting tujuan kebijakan yang menitik beratkan pada sudut pandang pembuat kebijakan. Namun dengan membacanya secara kontekstual, tumbuhnya perspektif model rasional sebagai tonggak awal studi implementasi adalah sangat wajar mengingat kebutuhan saat itu adalah untuk menjawab pertanyaan mengapa banyak kebijakan mengalami kegagalan saat diimplementasikan dan bagaimana menghasilkan suatu formula implementasi yang tingkat kegagalannya rendah. Namun pada perjalanannya Wildavsky mulai meragukan model tersebut, terlebih dalam teks yang ditulisnya bersama Giandomenico, “Impelementation as  Evolution” yang dalam pengalaman empirisnya melihat kontradiksi antara pembuatan regulasi yang rigid dan impelementasi yang fleksibel yang menyebabkan skeptisme terhadap model rasional.
Kemudian pembahasan dilanjutkan dengan Donald Van Meter dan Carl Van Horn. Kedua intelektual Amerika ini bersandar pada karya Pressman dan Wildavsky, namun diberi sentuhan progressif menjadi sebuah model proses impelementasi. Pendekatan-pendekatan sebelumnya meski dianggap sangat membantu memahami proses implementasi, namun sangat kurang dalam kerangka teoritik. Dalam mengembangkan kerangka teoritis, mereka didasarkan pada 1) teori organisasi, 2) studi tentang dampak kebijakan publik  dan 3) berbagai studi hubungan antar-pemerintah.
Van Meter dan Van Horn memulai analisanya dengan pertimbangan kebutuhan untuk mengklasifikasi kebijakan untuk memberi solusi pada kesulitan-kesulitan yang terjadi dalam ranah implementasi. Implementasi, hemat mereka, akan sukses ketika sedikit perubahan diperlukan dan tujuan konsensus tinggi. Berkaca pada ragam kasus, secara pragmatis kebijakan dengan perubahan yang terjadi secara incremental justru biasanya akan mendapat banyak dukungan, oleh karenanya jika menginginkan kebijakan terimplementasikan dengan baik, maka sebaiknya dengan perubahan marginal yang terjadi secara incremental. Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan seara linear dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan publik sebagai berikut: 1) policy standards and objectives, 2) the resources and incentives made available; 3) the quality of inter-organizational relationships;  4) the characteristics of the implementation agencies; 5) the economic, social and political environment; dan 6) the ‘disposition’ or ‘response’ of the implementers, yang mana satu sama lain proses saling berkelindan dan menjadi rangkaian tahapan sistemis yang dilakukan secara longitudinal.
Model yang diusung oleh Van Meter dan Van Horn memang menjelaskan pentingnya partisipasi implementor dalam penyusunan tujuan kebijakan, namun pendekatan mereka terkatagori pendekatan Top-down, sebab  standar dan tujuan kebijakan dikomunikasikan pada implementor melalui jaringan interorganisasional, atau dengan perkataan lain, yang terpenting adalah para implementor memahami dan menyetujui tujuan dan standar yang telah ditetapkan, bukan turut menentukan tujuan dan standar tersebut.
Tokoh pengusung top-down lain yang dijelaskan Hill dan Hupe adalah Eugene Bardach. Bardach adalah teoritisi asal Amerika. Pada tahun 1977 ia merilis karya “The Impelementation Game”. Dalam karyanya tersebut  menjelaskan perspektif top-down merangkul pengenalan gangguan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Bardach menunjukkan bahwa dalam proses impelementasi selalu melibatkan 'game', dan ia menguraikan berbagai macam “game” yang dapat dimainkan. Oleh karena itu kelompok ‘top’ harus bisa mengkondisikan/setup rekomendasi pra-kebijakan. Salah satunya terkait perlunya perhatian besar dalam proses 'scenario writing', untuk mencapai hasil yang diinginkan. Artinya pembuat kebijakan harus memperkirakan bagaimana scenario psoses implementasinya berikut syarat-syarat yang dibutuhkan agar kebijakan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik yang diharapkan kesulitan-kesulitan yang mungkin hadir dalam proses implementasi akan lebih mudah diantisipasi. Kemudian  fixing the game. Secara eksplesit, karya Bardach memandang implementasi adalah proses 'politik',  maka untuk pencapaian tujuan sebagaimana yang tertuang dalam kebijakan, para politisi harus mengikuti keseluruhan jalannya implementasi dan segera memperbaiki penyimpangan-penyimpangan yang terjadi diantara para implementor.
Kontributor top-down lainnya adalah untuk Sabatier dan Mazmanian. Dalam Teorinya dinyatakan bahwa ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi kesuksesan implementasi, yakni;
Ø  Karakteristik dari Masalah (tractability of the problems)
Ø  Karakteristik Kebijakan/ undang-undang (ability of statute to structure implementation)
Ø  Variabel Lingkungan (non statutory variables affecting implementation)
Model selanjutnya adalah Model Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn untuk dapat mengimplementasikan kebijakan secara sempurna, maka diperlukan beberapa persayaratan tertentu. Untuk penjelasan syarat-syarat ini, penulis sengaja jelaskan cukup panjang karena menilai variabel yang mereka jelaskan lebih beragam daripada variabel yang dijelaskan tokoh-tokoh lainnya.
Syarat pertama adalah kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/kendala yang serius. Karena biasanya kendala yang muncul pada prosess implementasi kebijakan seringkali unpredictable dan berada di luar kendali para administrator, baik yang bersifat fisik maupun politis. Kedua, untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumberdaya yang cukup memadahi. Sejatinya syarat kedua ini sebagian tumpang tindih dengan syarat pertama di atas, dalam pengertian bahwa kerapkali ia muncul diantara kendala-kendala yang bersifat eksternal. Kebijakan yang memilki tingkat kelayakan fisik dan politis tertentu bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan yang diinginkan karena menyangkut kendalan waktu yang pendek dengan harapan yang terlalu tinggi. Syarat ketiga yaitu perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar memadahi. Sumber-sumber yang diperlukan, secara ideal harus dijamin keberadaannya/persediaannya, namun memang secara praktik tak jarang kita menemukan ketidak-serentakan persiapan antara sumber yang diperlukan. Kekurang satu komponen sumber dalam rangkaian totalitas sumber bisa menjadi kontraproduktif.
Syarat keempat, kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang andal. Dalam alur berpikir logis, adalah keharusan untuk menemukan sebab dari suatu permasalahan. Namun pencarian sebab di sini tak sekedar tampilan permukaan, harus pula merujuk pada penggalian permasalahan lebih dalam. Bukan satu-dua kasus, implementasi tampak gagal dilaksanakan, namun ternyata bukan karena implementasi itu sendiri tapi lantaran konten kebijakan itu sendiri yang keliru. Syarat kelima hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya.
Syarat keenam hubungan saling ketergantungan harus kecil. Impelementasi kebijakan dinilai sempurna bila terdapat badan pelaksana tunggal dan tidak tergantung dengan organisasi lain, karena bila tergantung dengan instansi lain akan merumitkan alur dan pelaksanaan. Selanjutnya syarat ketujuh pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. Jelas, syarat ini mewajibkan adanya pemahaman yang kompeherensif terkait konsensus terhadap tujuan yang akan dicapai dan ‘setia’ terhadap consensus tersebut selama proses implementasi.
Selanjutnya syarat kedelapan, tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat. Syarat ini adalah penterjamahan teknis dari syarat sebelumnya, tujuan harus definitif begitu juga rincian tugas dan sistematikanya. Syarat kesembilan komunikasi dan koordinasi yang sempurna. Secara lugas Hood (1976) menjelaskan guna mencapai implementasi yang sempurna diperlukan suatu sistem satuan administrasi tunggal sehingga tercipta koordinasi yang baik. Kemudian syarat kesepuluh atau terakhir, pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna. Patuh dalam arti ketundukan penuh dan tidak ada penolakan sama sekali terhadap perintah dalam sistim administrasinya.
Secara implisit syarat-syarat yang dikemukakan oleh Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn mengandaikan suatu kondisi implementasi top-down. Ada kepatuhan yang sempurna, pelaksana tunggal, dll menjadi karakter dalam gagasannya tersebut.
b)   Pendekatan Bottom-Up
Model Bottom-up diprakarsai oleh Michael Lypsky melalui bukunya yang diterbitkan tahun 1980. Pendekatan Bottom-up merupakan kritik atas pandangan model Top-down yang menafikan kontribusi peran pelaksana tingkat bawah (street level beaurocrazy) pada proses implementasi.
Dalam gagasan Lypsky memproblemetisir proses politik tak hanya tidak berhenti saat kebijakan sudah diputuskan, tapi juga pada saat proses berlangsungnya kebijakan. ‘Politik’ tetap berlangsung pada street level beaurocrazy yang menentukan tingkat keberhasilan implementasi.
Dengan semangat revolusioner, Lypsky mengutuip diktum Marx ‘Man makes his own history, even though he does not do so under conditions of his own choosing,’ bahwa street level beaurocrazy sejatinya harus bisa menentukan pilihan-pilihannya sendiri walau dalam kondisi pressure tertentu. Oleh karena itu, Lypsky menganggap perlu mempertimbangkan apa yang menjadi aspirasi, tujuan kebutuhan dan permasalahan-permaslahan yang ditemui para pelaksana. Pernyataan Lypsky menjadi benar karena apa yang menjadi masalah dalam proses implementasi bisa tampak berbeda dari perspektif level yang berbeda. Level top, mungkin karena sudat pandangnya yang makro bisa memiliki pandangan berbeda dengan para pelaksana di tingkat bawah, oleh karena itu agar tidak terjadi gap pemahaman, melibatkan aktor-aktor tingkat bawah dinilai perlu.
Selanjutnya gagasan teori implemetansi yang diulas dalam chapter ini Benny Hejrn, sang ilmuan sosial dari Swedia. Core pemikirannya tentang impelementasi berorientasi pada bottom-up. Seperti Wildavsky dan Pressman, ia mengkaji pada interaksi antara organisasi. Namun ia melakukan kajian tambahan mengindentifikasi jaringan aktor yang terlibat serta mengidentifikasi tujuan, strategi, dsb. Model implementasi ini didasarkan kepada jenis kebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya atau masih melibatkan pejabat pemerintah, namun hanya di tataran bawah. Bagi Hjern implementasi akan efektif bila tanpa ada privilege tertentu bagi para aktor-aktornya.
Selanjutnya yang ikut dalam perdebatan teori implementasi dua sarjana asal Inggris, Susan Barrett dan Colin Fudge. Mereka mengkrtik model top-down yang dianggapnya mendepolitisasi hubungan antara kebijakan-action. Pandangan mereka menitik beratkan bahwa proses politik terus terjadi dalam seluruh implementasi, dan oleh karena itu sulit, menurut mereka, membuat jarak antara pembuatan kebijakan dan implementasi dalam muatan politisnya. Konsekuensi logis dari pandangan demikian, mereka menganjurkan model bottom-up.
Namun Barrett dan Fudge berpendapat impelemtasi bukanlah ihwal yang dikompromiskan dengan para policy-maker pasca impelementasi tersebut diselenggarakan, karena bagi mereka hal demikian justu merupakan kebijakan yang gagal. Nalar Barrett dan Fudge yaitu mendahulukan performance daripada conformance (keseuaian), jadi dalam pandangan mereka para impelementor memiliki nilai lebih untuk mengedepankan prestasi terlebih dahulu.
3.    Kebijakan Makro Dan Kebijakan Mikro
Kebijakan Makro yaitu kebijakan pemerintah yang meliputi seluruhnya segi ekonomi pada tingkat nasional. Terdapat banyak misal kebijakan ekonomi makro yakni kebijakan moneter, kebijakan fiskal, serta kebijakan perdagangan luar negeri. Kebijakan moneter yaitu kebijakan yang dikerjakan untuk melindungi kestabilan harga didalam negeri serta nilai tukar mata duit dalam negeri pada mata duit asing. Sedang kebijakan fiskal yaitu kebijakan untuk kurangi tingkat inflasi yang condong bertambah.
Kebijakan Mikro yaitu kebiakan pemerintah yang ditunjukan pada seluruhnya perusahaan tanpa ada lihat type aktivitas yang dikerjakan atau bidang mana serta di lokasi mana perusahaan berkaitan beroperasi. Kebijakan ekonomi mikro lebih didominasi oleh pembangunan infrakstruktur. Dengan infrastruktur yang baik, jadi arus modal serta barang juga bakal lancar.
B.   Peran Pemerintah Di Dunia Usaha Dengan Peran Masyarakat Dalam Kebijakan Pelayanan Publik
1.    Peran Pemerintah Dalam Pelayanan Publik
Secara teoritis sedikitnya ada tiga fungsi utama yang harus dijalankan oleh pemerintah tanpa memandang tingkatannya, yaitu fungsi pelayan masyarakat (public service function), fungsi pembangunan (development function) dan fungsi perlindungan (protection function).
Hal yang terpenting dari ketiga fungsi tersebut adalah pemerintah dapat mengelola fungsinya agar dapat menghasilkan barang dan jasa (pelayanan) yang ekonomis, efektif, efisien dan akuntabel kepada seluruh masyarakat yang membutuhkannya. selain itu, pemerintah dituntut untuk menerapkan prinsip equity dalam menjalankan fungsi-fungsi tadi. artinya pelayanan pemerintah tidak boleh diberikan secara diskriminatif. pelayanan diberikan tanpa memandang status, pangkat, golongan dari masyarakat dan semua warga masyarakat mempunyai hak yang sama atas pelayanan-pelayanan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Meskipun pemerintah mempunyai fungsi-fungsi sebagaimana di atas, namun tidak berarti bahwa pemerintah harus berperan sebagai monopolist dalam pelaksanaan seluruh fungsi-fungsi tadi. beberapa bagian dari fungsi tadi bisa menjadi bidang tugas yang pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada pihak swasta ataupun dengan menggunakan pola kemitraan (partnership), antara pemerintah dengan swasta untuk mengadakannya. pola kerjasama antara pemerintah dengan swasta dalam memberikan berbagai pelayanan kepada masyarakat tersebut sejalan dengan gagasan reinventing government yang dikembangkan osborne dan gaebler (1992).
Namun dalam kaitannya dengan sifat barang privat dan barang publik murni, maka pemerintah adalah satu-satunya pihak yang berkewajiban menyediakan barang publik murni, khususnya barang publik yang bernama rules atau aturan (kebijakan publik). barang publik murni yang berupa aturan tersebut tidak pernah dan tidak boleh diserahkan penyediaannya kepada swasta. karena bila hal itu dilakukan maka di dalam aturan tersebut akan melekat kepentingan-kepentingan swasta yang membuat aturan, sehingga aturan menjadi penuh dengan vested interest dan menjadi tidak adil (unfair rule). karena itu peran pemerintah yang akan tetap melekat di sepanjang keberadaannya adalah sebagai penyedia barang publik murni yang bernama aturan.
Pemberian pelayanan publik oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat sebenarnya merupakan implikasi dari fungsi aparat negara sebagai pelayan masyarakat. karena itu, kedudukan aparatur pemerintah dalam pelayanan umum (public services) sangat strategis karena akan sangat menentukan sejauhmana pemerintah mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi masyarakat, yang dengan demikian akan menentukan sejauhmana negara telah menjalankan perannya dengan baik sesuai dengan tujuan pendiriannya.
Dipandang dari sudut ekonomi, pelayanan merupakan salah satu alat pemuas kebutuhan manusia sebagaimana halnya dengan barang. namun pelayanan memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dari barang. salah satu yang membedakannya dengan barang, sebagaimana dikemukakan oleh gasperz (1994), adalah outputnya yang tidak berbentuk (intangible output), tidak standar, serta tidak dapat disimpan dalam inventori melainkan langsung dapat dikonsumsi pada saat produksi.
Karakteristik pelayanan sebagaimana yang dikemukakan Gasperz tadi secara jelas membedakan pelayanan dengan barang, meskipun sebenarnya kaduanya merupakan alat pemuas kebutuhan. sebagai suatu produk yang intangible, pelayanan memiliki dimensi yang berbeda dengan barang yang bersifat tangible. produk akhir pelayanan tidak memiliki karakteristik fisik sebagaimana yang dimiliki oleh barang. produk akhir pelayanan sangat tergantung dari proses interaksi yang terjadi antara layanan dengan konsumen.
Dalam konteks pelayanan publik, dikemukakan bahwa pelayanan umum adalah mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, mempersingkat waktu pelaksanaan urusan publik dan memberikan kepuasan kepada publik (publik=umum). senada dengan itu, moenir (1992) mengemukakan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor material melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya.
Dalam buku Delivering Quality Services karangan Zeithaml, Valarie a. (et.al), 1990, yang membahas tentang bagaimana tanggapan dan harapan masyarakat pelanggan terhadap pelayanan yang mereka terima, baik berupa barang maupun jasa. dalam hal ini memang yang menjadi tujuan pelayanan publik pada umumnya adalah bagaimana mempersiapkan pelayanan publik tersebut yang dikehendaki atau dibutuhkan oleh publik, dan bagaimana menyatakan dengan tepat kepada publik mengenai pilihannya dan cara mengaksesnya yang direncanakan dan disediakan oleh pemerintah.
Ø  Kemudian, untuk tujuan tersebut diperinci sebagai berikut :
menentukan pelayanan publik yang disediakan, apa saja macamnya;
Ø  Memperlakukan pengguna pelayanan, sebagai customers;
Ø  Berusaha memuaskan pengguna pelayanan, sesuai dengan yang diinginkan mereka;
Ø  Mencari cara penyampaian pelayanan yang paling baik dan berkualitas;
Ø  Menyediakan cara-cara, bila pengguna pelayanan tidak ada pilihan lain.
Berangkat dari persoalan mempertanyakan kepuasan masyarakat terhadap apa yang diberikan oleh pelayan dalam hal ini yaitu administrasi publik adalah pemerintah itu sendiri dengan apa yang mereka inginkan, maksudnya yaitu sejauhmana publik berharap apa yang akhirnya diterima mereka.
Dengan demikian, dilakukan penilaian tentang sama tidaknya antara harapan dengan kenyataan, apabila tidak sama maka pemerintah diharapkan dapat mengoreksi keadaan agar lebih teliti untuk peningkatan kualitas pelayanan publik.
Selanjutnya dipertanyakan apakah terhadap kehendak masyarakat, seperti ketentuan biaya yang tepat, waktu yang diperhitungkan dan mutu yang dituntut masyarakat telah dapat terpenuhi. andaikata tidak terpenuhi, pemerintah diharapkan mengkoreksi keadaan, sedangkan apabila terpenuhi dilanjutkan pada pertanyaan berikutnya, tentang berbagai informasi yang diterima masyarakat berkenaan dengan situasi dan kondisi, serta aturan yang melengkapinya.
Memang pada dasarnya ada 3 (tiga) ketentuan pokok dalam melihat tinggi rendahnya suatu kualitas pelayanan publik, yaitu perlu diperhatikan adanya keseimbangan antara :
Ø  Bagian antar pribadi yang melaksanakan (inter personal component);
Ø  Bagian proses dan lingkungan yang mempengaruhi (process and environment component);
Ø  Bagian profesional dan teknik yang dipergunakan(professional and technical component).
Permasalahan utama pelayanan publik berkaitan dengan peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri. Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada berbagai aspek, yaitu bagaimana tata pelaksanaanya, dukungan sumber daya manusia, dan organisasinya. Dilihat dari penyelenggaraannya, pelayanan publik masih memiliki beberapa kelemahan yaitu:
Ø  Kurangnya respon.Kondisi ini terjadi hampir semua tingkatan unsur pelayanan publik, mulai pada tingkatan petugas pelayanan sampai dengan tingkatan ketua dari instansi atau organisasi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan.
Ø  Kurangnya penyampaian informasi. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat malah berjalan lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.
Ø  Kurangnya akses. Berbagai pihak yang terkait dalam pelaksana pelayanan terletak jauh dari masyarakat, sehingga masyarakat merasa sulit jika membutuhkan pelayanan tersebut.
Ø  Kurang koordinasi. Berbagai pihak pelaksana pelayanan yang terkait satu dengan lainnya dirasa kurang dalam berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.
Ø  Rendahnya kualitas birokrasi. Pelayanan pada umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan dilain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan.
Ø  Kurang mau mendengar aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu.
Ø  Kurangnya efisisensi. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan.
Ø  Dilihat dari sisi sumber daya manusianya. Kelemahan utamanya adalah berkaitan dengan profesionalisme, kompetensi,dan etika.
Ø  Dilihat dari sisi kelembagaan. Kelemahan utama terletak pada disain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat,adanya peraturan yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan rangkap jabatan, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.
 Pada era sekarang ini perhatian masyarakat lebih menekankan pada kinerja pemerintah daerah. Masyarakat akan menuntut pelayanan publik yang berkualitas akan semakin menguat. Karena itu, profesianlisme pemerintah sangat ditentukan oleh kemampuannya mengatasi berbagai permasalahan di atas sehingga mampu menyediakan pelayanan publik yang memuaskan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.Pelayanan publik yang baik akan sangat bergantung pada pihak pihak yang ada didalamnya, seperti para aktor kebijakan yang dipilih oleh legislatif maupun eksekutif.
William Dunn menyatakan bahwa aktor-aktor kebijakan terdiri dari para pejabat yang dipilih baik eksekutif maupun legislatif,para pejabat yang diangkat,kelompok-kelompok kepentingan,organisasi – organisasi penelitian dan media massa3.Dari sisi mikro, hal-hal yang dapat diajukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
Ø  Standar Pelayanan.
Standar pelayanan merupakan suatu komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan dengan suatu kualitas tertentu yang ditentukan atas dasar perpaduan harapan-harapan masyarakat dan kemampuan penyelenggara pelayanan. Penetapan standar pelayanan yang dilakukan melalui proses identifikasi jenis pelayanan, identifikasi pelanggan, identifikasi harapan pelanggan, perumusan visi dan misi pelayanan, analisis proses dan prosedur, sarana dan prasarana, waktu dan biaya pelayanan. Proses ini tidak hanya akan memberikan informasi mengenai standar pelayanan yang harus ditetapkan, tetapi juga informasi mengenai kelembagaan yang mampu mendukung terselenggaranya proses manajemen yang menghasilkan pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Informasi lain yang juga.dihasilkan adalah informasi mengenai kuantitas dan kompetensi-kompetensi sumber daya manusia yang dibutuhkan serta distribusinya beban tugas pelayanan yang akan ditanganinya.
Ø  Pengembangan Prosedur Operasi Standar (SOP).
Untuk memastikan bahwa proses pelayanan dapat berjalan secara konsisten diperlukan adanya Prosedur Operasi Standar atau Standard Operating Procedures. Dengan adanya SOP, maka proses pengolahan yang dilakukan secara internal dalam unit pelayanan dapat berjalan sesuai dengan acuan yang jelas, sehingga dapat berjalan secara konsisten. Disamping itu SOP juga bermanfaat dalam hal:
ü  Jika terjadi hal-hal tertentu, misalkan petugas yang diberi tugas menangani satu proses tertentu berhalangan hadir, maka petugas lain dapat menggantikannya.Oleh karena itu proses pelayanan dapat berjalan terus.
ü  Untuk memastikan bahwa pelayanan perijinan dapat berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
ü  Memberikan informasi yang akurat ketika dilakukan penelusuran terhadap kesalahan prosedur jika terjadi penyimpangan dalam pelayanan.
ü  Memberikan informasi yang akurat ketika akan dilakukan perubahan-perubahan tertentu dalam prosedur pelayanan.
ü  Memberikan informasi yang akurat dalam rangka pengendalian pelayanan.
ü  Memberikan informasi yang jelas mengenai tugas dan kewenangan yang akan diserahkan kepada petugas tertentu yang akan menangani satu proses pelayanan tertentu.
Ø  Pengembangan Survey Kepuasan Pelanggan.
Untuk menjaga kepuasan masyarakat, maka perlu dikembangkan suatu mekanisme penilaian kepuasan masyarakat atas pelayanan yang telah diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dalam konsep manajemen pelayanan, kepuasan pelanggan dapat dicapai apabila produk pelayanan yang diberikan oleh penyedia pelayanan memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, survey kepuasan pelanggan memiliki arti penting dalam upaya peningkatan pelayanan publik.

Ø  Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan.
Pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi bagi upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu perlu didisain suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara dapat efektif dan efisien mengolah berbagai pengaduan masyarakat menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan.Dalam hal-hal tertentu, memang terdapat pelayanan publik yang pengelolaannya dapat dilakukan secara khusus untuk menghasilkan kualitas yang baik.Dalam banyak hal pemerintah juga dapat melakukan privatisasi kebijakan.
Namun hal yang perlu dan penting dilakukan oleh sebuah pemerintahan dalam hal pelayanan dan kebijakan publik yaitu adanya Evaluasi Kebijakan Publik.Dalam hal ini, evaluasi kebijakan memiliki posisi penting dalam keseluruhan siklus kebijakan;
ü  Pertama, evaluasi memberikan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan.
ü  Kedua, evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target kebijakan.
ü  Ketiga, evaluasi memberi kontribusi bagi aplikasi metode-metode kebijakan karena berbagai informasi yang didapat tentang tidak memadainya kinerja kebijakan dapat memberi sumbangan pada perumusan ulang masalah kebijakan, (Dunn, 2000: 609-610).
Disamping itu, peningkatan kualitas pelayanan publik juga perlu didukung adanya struktur birtokrasi yang jelas dan baik. Birokrasi yang terlalu luas bisa saja menjadi ladang bagi tumbuhnya KKN dalam penyelenggaraan pelayanan.Dan beberapa waktu terakhir ini kita bisa melihat bahwa beberapa kasus KKN dalam birokrasi mulai terkuak keberadaanya.
Mengutip pendapat Dwiyanto (2005) ada beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai pengembangan good governance di Indonesia, antara lain :
ü  Dengan pelayanan publik nilai-nilai yang mencirikan good governance dapat dilakukan secara lebih mudah dan nyata oleh birokrasi pemerintah. Nilai-nilai yang mencirikan praktik good governance seperti efisiensi, transparansi, akuntabilitas dan partisipasi dapat diterjemahkan secara relatif mudah dalam penyelenggaraan pelayanan publik daripada melembagakan nilai-nilai tersebut dalam keseluruhan aspek kegiatan pemerintahan.
ü  Pelayanan publik melibatkan kepentingan semua unsur governance. Pemerintah, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar memiliki kepentingan dan keterlibatan yang tinggi dalam ranah ini. Pelayanan publik memiliki high stake dan menjadi pertaruhan yang penting bagi ketiga unsur governance tersebut karena baik dan buruknya praktik pelayanan publik sangat berpengaruh kepada ketiganya. Nasib sebuah pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, akan sangat dipengaruhi oleh keberhasilan mereka dalam mewujudkan pelayanan publik yang baik. Keberhasilan sebuah rezim dan penguasa dalam membangun legitimasi kekuasaan sering dipengaruhi oleh kemampuan mereka dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang baik dan memuaskan warga.Demikian pula dengan membaiknya pelayanan publik juga akan memperkecil biaya birokrasi, yang pada gilirannya dapat memperbaiki kesejahteraan warga pengguna dan efisiensi mekanisme pasar. Dengan demikian, reformasi pelayanan publik akan memperoleh dukungan yang luas.
ü  Pelayanan publik mampu membangkitkan dukungan dan kepercayaan masyarakat. Pelayanan publik selama ini menjadi ranah dimana Negara yang diwakili oleh pemerintah berintegrasi dengan lembaga-lembaga non pemerintah. Dalam ranah ini terjadi pergumulan yang sangat intensif antara pemerintah dengan warganya. Buruknya praktik governance dalam penyelenggaraan pelayanan publik sangat dirasakan oleh warga dan masyarakat luas. Ini berarti jika terjadi perubahan yang signifikan pada ranah pelayanan publik dengan sendirinya dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh warga dan masyarakat luas. Keberhasilan dalam mewujudkan praktik good governance dalam ranah pelayanan publik mampu membangkitkan dukungan dan kepercayaan dari masyarakat luas bahwa membangun good governance bukan hanya sebuah mitos tetapi dapat menjadi suatu kenyataan.
ü  Dengan memperbaiki pelayanan publik toleransi terhadap praktik bad governance diharapkan dapat dihentikan. Hasil Governance and Decentralization Survey 2002 (GDS 2002) menunjukkan bahwa sebagian besar warga menganggap wajar terhadap praktik pungutan liar (pungli) dan justru merasa lega karena proses pelayanan dapat segera selesai, menjadi indikator bahwa warga bangsa menjadi semakin toleran terhadap praktik bad governance. Hal ini tentu tidak saja dapat mendorong warga untuk mengembangkan mekanisme survival dengan adanya praktik bad governance, tetapi juga menghindari upaya untuk membangun good governance. Kalau hal seperti ini terus terjadi dan semakin meluas tentu sangat berbahaya bagi kelangsungan kehidupan bangsa. Dengan menjadikan praktik pelayanan publik sebagai pintu masuk dalam membangun good governance, maka diharapkan toleransi terhadap bad governance yang semakin meluas dapat dihentikan.
ü  Dengan memperbaiki pelayanan publik diharapkan adanya keterlibatan dari aktor-aktor di luar Negara dalam merespon masalah-masalah publik. 
Menurut sebagian pakar (Dye, 1981 ; Anderson, 1984), terdapat sejumlah dampak kebijakan yang perlu diperhatikan di dalam evaluasi kebijakan, yakni :
ü  Dampak kebijakan terhadap situasi atau kelompok target. Objek yang dimaksud sebagai sasaran kebijakan harus jelas. Misalnya masyarakat miskin (berdasarkan keriteria tertentu), para pengusaha kecil, kelompok anak-anak sekolah yang termarjinalkan, atau siapa saja yang menjadi sasaran. Efek yang dituju oleh kebijakan juga harus ditentukan. Jika berbagai kombinasi sasaran tersebut dijadikan fokus masa analisisnya menjadi lebih rumit karena prioritas harus diberikan kepada berbagai efek yang dimaksud. Disamping itu, perlu dipahami bahwa kebijakan kemungkinan membawa konsekuensi yang diinginkan atau tidak diinginkan. Faktanya : Implikasi atau dampak kebijakan berbagai program penanggulangan kemiskinan (Program Pengembangan Kecamatan, Kemitraan Bagi Pengembangan Ekonomi Lokal, CERD, P2KP, Program Pengembangan Prasarana Perdesaan, dan sebagainya) dengan sasaran orang miskin di berbagai wilayah Indonesia, merupakan salah satu bukti nyata. Implikasi kebijakannya terlihat misalnya melalui upaya program tersebut di dalam mengembangkan kegiatan ekonomi produktif, kemudahan akses masyarakat terhadap akses pendanaan-informasi-pasar-jaringan, kemudahan akses terhadap peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan publik, kemudahan terhadap penyediaan hak-hak dasar masyarakat miskin, peningkatan kualitas hidup masyarakat yang dapat dilihat dari penyediaan fasilitas sosial, prasarana da sarana, pendidikan, faktor lingkungan, perwakilan (hak) politik, dan kebutuhan lainnya.
ü  Dampak kebijakan terhadap situasi atau kelompok lain selain situasi atau kelompok target. Hal ini disebut efek eksternalitas atau spillover, karena jumlah sejumlah outcome kebijakan publik sangat berarti dipahami dengan istilah eksternalitas. Faktanya : dampak kebijakan penanggulangan kemiskinan melalui beberapa program (Program Pengembangan Kecamatan, Kemitraan Bagi Pengembangan Ekonomi Lokal, CERD, P2KP, Program Pengembangan Prasarana Perdesaan, dan sebagainya), telah melibatkan secara langsung dan tidak langsung berbagai pihak, termasuk pemerintah, pengusaha, aparat pemerintah daerah, tokoh-tokoh masyarakat, guru, penyuluh kesehatan, konsultan, kontraktor dan sebagainya.
ü  Dampak kebijakan terhadap kondisi sekarang dan kondisi masa yang akan datang. Faktanya : Dampak kebijakan penanggulangan kemiskinan melalui beberapa program seperti tersebut diatas, telah menguatkan fondasi ekonomi kerakyatan dan kemandirian masyarakat miskin khususnya dan masyarakat pada umumnya. Bahkan dapat dikatakan bahwa dampak positif kebijakan tersebut meneguhkan keinginan masyarakat dalam merespon gagasan otonomi daerah yang baru dimulai pelaksanaanya sejak tahun 1999 (Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004).
ü  Biaya langsung kebijakan, dalam bentuk sumber dana dan dana yang digunakan dalam program. Faktanya : Berbagai lembaga donor (nasional dan internasional) telah merealisasikan programnya. Hal ini logis dan sejalan dengan beberapa kesepakatan dalam program penanggulangan kemiskinan yang dibiayai oleh berbagai pihak seperti World Bank, UNDP, ADB, JICA, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
ü  Biaya tidak langsung kebijakan , yang mencakup kehilangan peluang melakukan kegiatan-kegiatan lainnya. Biaya tersebut sering tidak diperhitungkan dalam melakukan evaluasi kebiajakan publik karena sebagian tidak dapat dikuantifikasi. Faktanya : tidak bisa dipungkiri bahwa program yang dijalankan akan melibatkan berbagai pihak yang dengan keterlibatannya menghalangi melakukan kegiatan lain, misalnya anak dan anggota keluarga dari masyarakat miskin yang dulunya turut membantu kegiatan orang tua, harus berada di bangku sekolah untuk belajar pada jam tertentu. Hal ini berarti kesempatan membantu orang tuanya bekerja menjadi hilang atau berkurang.
ü  Tentu saja, juga sulit mengukur manfaat tidak langsung dari kebijakan terhadap komunitas. Faktanya : Hal ini sesungguhnya dapat dilihat dari dampak simbolis kebijakan, misalnya di bidang pendidikan terlihat dari perubahan sikap dan perilaku masyarakat untuk sadar akan arti penting pendidikan atau di bidang kesehatan melalui sikap dan perilaku sehat yang ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari.
Secara teoritis, dampak kebijakan tidak sama dengan output kebijakan. Karena itu menurut Dye (1981), penting untuk tidak mengukur manfaat dalam bentuk aktivitas pemerintah semata. Hal ini perlu dicermati karena yang seringkali terlihat adalah pengukuran aktivitas pemerintah semata-mengukur output kebijakan. Dalam menjelaskan determinan kebijakan publik, ukuran output kebijakan publik sangat penting untuk diperhatikan. Namun, dalam menilai dampak kebijakan publik, perlu ditemukan identitas perubahan dalam lingkungan yang terkait dengan upaya mengukur aktivitas pemerintah.
2.    Peran Dunia Usaha Dalam Pelayanan Publik
Pelayanan publik merupakan pilar penting reformasi birokrasi yang menjadi tolok ukur kinerja pemerintah. Namun, lebih dari sepuluh tahun reformasi bergulir dan implementasi otonomi daerah, fakta memperlihatkan masih minimnya perubahan substansial dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia.
Dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris, dalam pelayanan publik, terdapat 3 (tiga) aktor yang terlibat, yaitu: masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah yang dimotori oleh birokrasi. Ketiganya tidak bisa berdiri sendiri melainkan saling berkaitan dan mendukung perwujudan sistem transparansi nasional. Untuk itu perlu dibangun strategi kerjasama segitiga antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam rangka mewujudkan birokrasi yang professional, efisien, cepat, dan bekerja berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik.
Indeks integritas pelayanan publik pada tahun 2010 pun menujukkan penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Beberapa instansi maupun daerah memang menunjukkan peningkatan kualitas pelayanan pelayanan publik, namun secara umum kualitas pelayanan publik masih sangat kurang bahkan cenderung bobrok. Argumentasi yang dikedepankan adalah kerjasama antara pemerintah, swasta dan masyarakat dalam mewujudkan sistem transparansi nasional pelayanan publik merupakan sebuah keharusan.
Dunia usaha secara sederhana diartikan sebagai kalangan pengusaha / entrepreneur baik dalam konteks individual maupun gabungan dalam asosiasi pengusaha. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menyebutkan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Menurut Pasal 4 undang-undang ini, penyelenggaraan pelayananpublik berasaskan: kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban,
keprofesionalan, partisipatif, persamaan perlakuan / tidak diskriminatif,keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok, rentan, ketepatan waktu, serta kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Birokrasi merupakan aktor utama dalam penyediaan pelayanan publik. Birokrasi pada prinsipnya merupakan gabungan fungsi dari berbagai faktor dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai mesin negara, birokrasi memiliki legitimasi tunggal untuk menghadirkan pelayanan prima kepada publik. Adapun faktor-faktor utama yang mempengaruhi pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia antara lain adalah kelembagaan, kepegawaian, proses pengawasan, dan akuntabilitas.Faktor-faktor tersebut merupakan penentu baik-buruknya proses pelayanan yang diberikan. Namun, faktanya saat ini memperlihatkan bahwa faktor-faktor tersebut belum mampu disinergikan, bahkan ada kecenderungan terdapat faktor yang hilang.


3.    Peran Masyarakat Dalam Pelayanan Publik
Ada dasarnya setiap manusia membutuhkan pelayanan, bahkan secara esktrim dapat dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Masyarakat setiap waktu selalu menuntut pelayanan publik yang berkualitas dari pemerintah, meskipun tuntutan tersebut sering tidak sesuai dengan harapan karena secara empiris pelayanan publik yang terjadi selama ini masih bercirikan berbelit-belit, lambat, dan melelahkan.
Pelayanan yang terbaik adalah pelayanan yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh masyarakat. Pelayanan terbaik akan membawa implikasi terhadap kepuasan publik atas pelayanan yang diterima. Dengan demikian dapat kita katakan bahwa implementasi otonomi daerah memiliki peran yang sangat optimal bagi pemerintah daerah dalam menciptakan hubungan yang harmonis antara pemerintah dengan masyarakat. Di era otonomi daerah, fungsi pelayanan publik menjadi salah satu fokus perhatian dalam peningkatan kinerja instansi pemerintah daerah untuk lebih mendekatkan fasilitas pelayanan publik pada masyarakat, sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat. Interelasi antara aparatur dengan pelayanannya  mengharuskan adanya partisipasi masyarakat sebagai suatu proses tumbuhnya kesadaran terhadap hubungan diantara para stakeholders yang heterogen baik kelompok sosial dan komunitas serta pengambil kebijakan.
Osborne dan Plastrik (Sinambela, 2011) mencirikan pemerintahan (birokrat) sebagaimana diharapkan diatas adalah pemerintahan milik masyarakat, yakni pemerintahan (birokrat) yang mengalihkan wewenang kontrol yang dimilikinya kepada masyarakat. Masyarakat diberdayakan sehingga mampu mengontrol pelayanan yang diberikan oleh birokrasi. Dengan adanya kontrol dari masyarakat pelayanan publik akan lebih baik karena mereka akan memiliki komitmen yang lebih baik, lebih peduli, dan lebih kreatif dalam memecahkan masalah. Oleh karena itu perlu dibangun sebuah komitmen untuk melayani sehingga pelayanan dapat menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan dapat merancang pelayanan yang lebih kreatif serta efisien.
Pentingnya partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik juga memperoleh momentum yang tepat seiring dengan munculnya otonomi daerah di Indonesia yang memberikan keleluasaan lebih besar kepada daerah untuk merancang dan menentukan sendiri jenis pelayanan yang paling dibutuhkan oleh masyarakat. Posisi strategis pemerintah daerah sebagai ujung tombak penyedia layanan publik dikemukakan oleh Rayner (1997): ”One of the functions of local government is to be a forum where can negotiate their interests, raise concern about matters affecting them and try to reach a consensus or accommodate the need of other”. (”Salah satu fungsi penting yang harus dijalankan oleh pemerintah daerah adalah menjadi forum dimana masyarakat dapat menegosiasikan apa yang menjadi kepentingan mereka, menyampaikan rasa keprihatinan mengenai masalah-masalah yang menganggu mereka dan mencari konsensus atau mengakomodasi kepentingan orang lain”). Uraian di atas terlihat pada gaya kepemimpinan Pak Jokowi dengan model ”blusukan”, merupakan salah satu cara sederhana yang diterapkannya guna mendekatkan pemerintah dengan masyarakat.
Kepentingan publik tidak lagi dipandang sebagai agregasi kepentingan pribadi, melainkan sebagai hasil dialog dan keterlibatan publik dalam mencari nilai bersama dan kepentingan bersama. Dengan demikian, pekerjaan administrator publik (pemerintah) tidak lagi mengarahkan tetapi pelayanan kepada masyarakat. Jika konsisten dengan apa yang sudah dilakukan oleh Pak Jokowi dan kemudian membuahkan hasil yang memuaskan, tentu dukungan publik semakin besar terhadap pemerintahan yang dipimpinnya.
Sebagaimana menurut Smith dan Ingram (1993) bahwa partisipasi publik akan memberikan manfaat bagi pemerintah. Pemerintah akan menjadi lebih kuat dalam artian ada peningkatan kapasitas kelembagaan dalam pembuatan kebijakan publik. Peningkatan kapasitas kelembagaan ini akan berimplikasi pada peningkatan dukungan publik kepada pemerintah, misalnya melalui pemberian suara pada saat pemilihan umum, manakala masyarakat melihat pemerintah sebagai sebuah lembaga yang mampu menjamin ataupun merepresentasikan kepentingan publik.
Namun dalam praktiknya, upaya untuk melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik bukanlah sesuatu pekerjaan mudah untuk dilaksanakan. Ada banyak kendala yang berpotensi menghambat implementasi program partisipasi. Pertama, lemahnya komitmen politik para pengambil keputusan di daerah untuk secara sungguh-sungguh melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut pelayanan publik. Kedua, Lemahnya dukungan anggaran, agar kegiatan ini dapat dijalankan secara terus menerus. Ketiga, masyarakat menjadi bersikap apatisme karena selama ini jarang dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan. Kondisi demikian akan menyulitkan pemerintah berinisiatif untuk mengajak mereka berpartisipasi. Keempat, Tidak adanya trust (kepercayaan) masyarakat kepada pemerintah. Masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah karena sebelumnya masyarakat hanya dijadikan objek oleh kebijakan pemerintah.
Upaya melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan layanan publik tidak mudah dilaksanakan karena untuk membuat keputusan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat membutuhkan waktu yang lama, biaya yang tidak sedikit, serta dukungan SDM yang berpengalaman. Oleh karena itu, jika pemerintah daerah tidak mempunyai komitmen yang kuat untuk menggalang dukungan partisipasi, maka kegiatan partisipasi hanya akan dirasakan sebagai masalah, bukan sebagai solusi untuk memecahkan masalah pemerintah. Jika hal ini yang terjadi, maka partisipasi hanya menjadi momok yang akan selalu dijauhi oleh pemerintah daerah.
Partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik ini dimaksudkan untuk meyakinkan dan memberikan spirit bahwa partisipasi masyarakat memiliki posisi strategis dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik. Dengan adanya partisipasi, masyarakat menjadi bagian terpenting dalam menyampaikan keluhan, kritik dan saran sehingga dapat digunakan sebagai sarana perbaikan kualitas pelayanan sedangkan birokrasi pelayanan didorong untuk menjadikan dirinya lebih terbuka dan terbiasa melalui proses pembelajaran terhadap kebutuhan pengguna dan lingkungannya.